Fall For You 4

169019

Poster by POKUPON

#4 : Everything will be alright, if I’ll always next to you

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 (END)

***

DONGHAE memandang Cha Hyo Sung dengan tatapan tidak percaya. “Minjung sakit?”

Hyosung mengatupkan mulut, balik menatap Donghae. “Kenapa dia tidak mengatakannya pada kita?” gumamnya. “Apa ada yang terjadi?”

Donghae menghela napas. “Kukira dia akan datang terlambat hari ini.”

Yeah, aku dan Chan juga memikirkan hal yang sama. Tapi, dia bahkan tidak bilang apapun pada kami saat dan setelah dia di rumah sakit sekolah.”

Donghae tidak menanggapi perkataan gadis itu. Apa Minjung sedang menghindarinya? Tapi kemarin, Minjung tidak bisa berbuat apa-apa saat ia marah-marah padanya kemarin. Namun.. mungkin Moon seonsaengnim benar. Minjung sakit dan butuh istirahat. Apalagi kemarin tangan Minjung  sempat terluka. Mungkin luka itu menimbulkan efek samping sehingga daya tahan tubuh Minjung menurun. Dan hari ini, Minjung tidak hadir karena sakit.

Tetapi hal itu tidak bertahan lama karena keesokan harinya, Minjung masih tidak menampakkan diri di sekolah.

Apa luka di tangan bisa mengakibatkan seseorang sakit selama itu?

☆☆☆

Ini adalah hari ketiga ketidakhadiran Hwang Min Jung. Dan Lee Dong Hae sudah mulai uring-uringan dengan situasi ini. Begitu juga dengan semua orang. Tapi tidak ada yang separah Donghae.

Donghae mendesah, kemudian menghempas tubuhnya di bangkunya. Oke, ia memang marah pada Minjung karena merahasiakan semua apa yang dialami gadis itu darinya. Ia hanya merasa seperti orang yang tidak berguna bagi Minjung. Oh ayolah, gadis itu sahabatnya! Kenapa dia memperlakukan Minjung seperti itu? Kenapa dia melukai perasaan Minjung?

Tapi haruskah Minjung juga menghindarinya?

Ia tidak bermaksud mengatakan hal itu. Dia tanpa sengaja menyinggung gadis itu karena otaknya sudah tertutupi bahwa Minjung selama ini menyembunyikan banyak hal darinya. Lihat apa yang terjadi. Minjung menghindarinya, bahkan mungkin membencinya.

Sekarang apa yang akan dilakukannya? Pergi ke rumah Minjung?

Hanya itu solusi terbaik yang bisa ia pikirkan.

Saat jam istirahat tiba, mereka semua terlibat pembicaraan mengenai gadis itu.

“Ini aneh, kalau kau tanya aku.” Byul berpendapat. “Aku hanya merasa ini tidak seperti saat dia membolos selama seminggu hanya untuk berlibur sendirian di Jeju.”

“Apa luka yang di tangannya separah itu?” Chan bertanya pada Donghae. Semua orang tengah berkumpul di kelas. Bahkan Eunhyuk pun ada di antara mereka.

“Mungkin.” Donghae berkata gamang. “Telapak tangannya tertusuk banyak sekali pecahan lensa.” ia menghela napas. “Aku tidak mendapat pesan ataupun telepon darinya..”

“Oh, kau tidak sendirian, teman.” Kyuhyun menepuk-nepuk pundah Donghae. “Kami semua juga begitu.”

Donghae bergumam menatap Byul.  “Mungkinkah kau tahu sesuatu?”

Yeah, mengingat kau selalu tahu segalanya tentang kami semua.” Sungmin menyahut.

Byul mengerutkan kening. “Apa, misalnya?”

 “Kau orang terakhir yang bersamanya, setidaknya tiga hari lalu. Aku melihatmu mengantarnya ke parkiran sepeda. Benar bukan?” ucap Donghae.

“Oh, kau melihatku bersama Minjung?” Byul terkesiap. “Kukira kau tidak akan memperhatikan apapun karena kau bersama teman barumu!”

Donghae dan Eunhyuk tampak sangat jengkel.

Tak berniat melanjutkan pertengkaran, Byul berkata. “Dia tidak mengatakan apapun padaku kecuali betapa terkejutnya dia saat tahu Eunhyuk adalah sepupuku. Oh, dia juga menyakinkan aku kalau dia akan pulang dengan selamat walau tidak memakai kacamata. Setelah itu? Aku sama sekali tidak tahu keberadaannya. Hei, kukira kau akan mengunjunginya!”

Begitu nama itu terlontar dari mulut Byul, si pemilik nama hanya menatap gadis itu.

“Oh, aku memang mengunjunginya!” Donghae berseru, meniru ucapan Byul. “Aku menggedor-gedor pintu rumahnya! Tapi tidak ada yang menjawab! Aku juga tidak mendengar apapun dari dalam! Kau gila kalau kau menyuruhku ke rumah kakek dan neneknya!” ia langsung mencegah Byul bicara.

Byul langsung mengatupkan mulutnya.

Tanpa Donghae sadari, seseorang juga merasa gusar karena ketidakhadiran Hwang Min Jung selama tiga hari.

☆☆☆

Donghae sudah merapikan buku-buku dan alat tulisnya ketika mengetahui bahwa sembilan menit lagi bel tanda istirahat akan segera berbunyi. Dengan tidak sabar, ia mendengar penjelasan Han seonsaengnim tentang Hukum Laut Internasional. Ia mengetuk-ngetuk buku-buku jarinya di meja, melirik arloji tiap semenit sekali, sambil bergumam di tiap menitnya.

Satu menit kemudian, ketika gurunya sudah berada di luar, dan para murid melakukan apapun yang biasa mereka lakukan saat istirahat, ia berdiri dan mengambil tas nya.

Byul langsung menyadari apa yang ingin dilakukan laki-laki itu. “Kau akan membolos?”

Donghae menghela napas. “Cari alasan yang bagus untukku, oke?”

“Kau jadi terdengar seperti Minjung.” Sungmin menyahut.

Hyosung mengerutkan kening. “Kau punya waktu di hari Minggu. Kenapa harus sekarang?” tanyanya menyelidiki.

“Lebih cepat aku tahu keberadaannya, itu lebih baik.” Donghae memakai ranselnya. “Aku pergi.”

Dan dia melangkah meninggalkan gedung sekolah dan menuju parkiran sepeda.

Tapi pada saat itu, seseorang mencegahnya.

Donghae tersenyum. “Absenmu tidak akan pernah bersih jika kau mengenal Minjung, jadi kami sudah terbiasa.”

“Tapi Hyosung benar, kau tahu? Kau masih punya waktu.”

“Ada yang harus aku selesaikan.” Donghae berdiri dari sadel, baru hendak mengayuh kalau saja tidak mendengar orang itu mengatakan sesuatu.

“Aku minta maaf.” teriak orang itu. “Aku yang membuat Minjung jatuh dari tangga, menginjak kacamata Minjung, melempar bola basket tepat mengenai kepalanya saat pelajaran olahraga, dan.. menampar Minjung.”

Donghae berbalik, kembali memarkir sepedanya, terkejut mengetahui dua kejadian lain. “Eunhyuk-ah, maafkan aku. Itu masalahmu dengannya. Ada yang harus kuselesaikan sekarang.”

“Itu sebabnya kau mati-matian ingin mengunjungi Minjung hari ini karena kau bertengkar dengannya?”

☆☆☆

“Minjung bukanlah orang yang terbuka, asal kau tahu saja. Gadis itu, meskipun kelihatan selalu ceria, tetap saja akan berubah dingin bila sudah disinggung sisi pribadinya. Harus kuakui, sejak ayahnya meninggal, Minjung benar-benar berubah total. Well, tidak satupun dari kami yang tahu kenapa ayahnya meninggal. Dia tidak pernah menceritakan apapun. Dia dulu sangat baik dan ramah pada orang asing, tapi kemudian menjadi seperti kau mengenalnya sekarang. Dia tidak ragu untuk menghina orang yang dibencinya di sekolah. Minjung dulu gadis cerdas yang taat aturan, kebanggaan para guru, baik hati, dan sangat penyayang kepada siapapun dan apapun. Kau akan kaget saat tahu bagaimana dirinya saat pertama kali aku mengenalnya, umur kami masih lima tahun saat itu. Tapi sejak masuk sekolah menengah atas, dia melanggar selusin peraturan sekolah setiap harinya, membuat para guru gila, menjalani detensi ini itu, bahkan bertengkar dengan siapapun.”

Donghae menyerah. Di parkiran sepeda, dengan jumlah murid yang cukup ramai, ia mengatakan semuanya.

“Aku kecewa padanya, karena dia tidak cerita tentangmu. Karena dia tidak cerita saat dia menabrakmu, atau saat kau menjatuhkannya dari tangga, atau saat dia mengarang alasan untuk kacamatanya yang hancur. Aku benar-benar tidak bisa mengontrol emosiku. Makanya aku membentaknya. dan menyinggung ayahnya.”

Eunhyuk tampak kaget, namun berusaha untuk tidak terbaca. Minjung mengarang alasan saat dirinya menghancurkan kacamata gadis itu? Apa yang sebenarnya Minjung pikirkan sampai harus menyembunyikan semua masalahnya dari para sahabatnya?

Tapi.. mengapa Minjung melakukan itu?

“Jadi, aku harus menemuinya.” Donghae melanjutkan. “Dia tanggung jawabku. Aku temannya sejak kecil. Ayahnya meninggal dua tahun lalu saat awal sekolah dan dia bahkan tidak pernah menyinggung soal ibunya. Aku yakin saat ini dia membutuhkan aku. Sebagai sahabat, sebagai penghibur, dan pendengar yang baik.”

Eunhyuk hanya mendengar, tidak menyela atau bertanya. Kedekatan Donghae dan Minjung, entah mengapa, membuatnya ingin memiliki seseorang seperti Minjung.. tapi sebagai apa?

“Kenapa kau mengatakan semua ini padaku?” Eunhyuk bertanya, setelah cukup lama menjadi pendengar yang baik.

“Aku hanya berpikir kau harus tahu.” Donghae berkata. “Entahlah.. semua teman-temanku masih belum tahu kalau kau dibalik semua kecelakaan yang Minjung alami, kecuali Byul. Aku yakin sepupumu itu sudah tahu semuanya.”

Eunhyuk mengangguk membenarkan.

“Kuharap kau tidak menilai lebih hubunganku dengan Minjung. Percayalah, aku mencintai orang lain dan Minjung hanyalah saudaraku. Lagipula, Minjung suka bergonta-ganti pasangan.”

Eunhyuk tidak menyangka Donghae akan mengatakan hal seperti itu.

☆☆☆

Kini Donghae sudah sampai ke kompleks perumahan Minjung. Hari sudah hampir sore ketika ia berada rumah gadis itu.

Ia membuka pagar, menuntun sepedanya memasuki halaman. Sama seperti sebelumnya, rumah ini kelihatan sepi. Tapi ada yang berbeda dari rumah ini. Meskipun ia yakin Minjung tidak berada di rumah, setidaknya kini ia melihat ada sedikit perubahan berarti di halaman rumah ini. Minjung membersihkan halaman, memangkas rapi rumput yang dua hari lalu mulai meninggi, dan menyiram bunga-bunga di tamannya.

Donghae membuka pintu. Terkunci. Dia mengelilingi rumah. Tak ada akses untuk masuk. Dia duduk di tangga pintu masuk, berpikir, bila dia jadi Minjung, dan dia frustrasi, akan berada dimanakah dia?

Ia mengangkat wajah, bergegas meninggalkan rumah. Perasaannya bagus soal keberadaan Minjung. Ia berlari menyusuri jalanan kompleks yang cukup sepi itu. Setelah melewati empat tikungan, ia sampai di tempat yang ia tuju.

Ia memegang kedua lututnya, berusaha mengatur napas. Kemudian berdiri tegak. Ia tersenyum lega. Dugaannya benar. Hwang Min Jung ada di sana.

☆☆☆

Minjung menuntun sepeda memasuki halaman rumah, menuju garasi. Bahkan setelah berjalan-jalan seharian, perasaannya tidak jauh lebih baik. Rumahnya kosong, tidak ada yang  menyambut kepulangannya. Ayahnya sudah meninggal, dan ibunya.. siapa peduli?

Ketika keluar garasi, gadis itu tertegun karena ternyata ada yang menyambut kepulangannya.

“Dari mana saja kau?” tanya orang itu. “Kenapa pulang selarut ini?”

“Apa pedulimu?” balas Minjung ketus. “Dan kenapa kau ada di sini?”

“Ini rumahku dan tentu saja aku akan pulang ke sini.” jawab orang itu enteng.

Gadis itu memutar bola matanya kesal. “Oh bagus. Terima kasih sudah mengingatkan aku.” erangnya. “Kau tahu, aku hampir lupa kalau aku pernah tinggal serumah dengan seorang buronan.”

Orang itu tertegun.

“Dengar, buronan,” kata Minjung dengan nada hina. “Apa perlu aku menelepon polisi sekarang? Aku yakin mereka pasti senang mendengar kau ada di sini.” gadis itu mengambil ponsel dari saku seragamnya, membuka kunci, dan dengan cepat mencari nomor telepon polisi, dan menyentuhnya.

“Oh, wow, Jungie,” orang itu mendekati Minjung. “Kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik-baik, oke?”

“Tidak, terima kasih.” Minjung membiarkan panggilan itu berjalan. “Setelah kau membunuh ayah dan ibuku, mengambil semua uang mereka, dan pergi dengan pria lain, kau masih menyuruhku menyelesaikan masalah ini secara baik-baik?!”

Orang itu meraih tangan Minjung, namun gadis itu menghempasnya dengan kasar dan mundur menjauhinya. “Aku ibu―”

“Kau tidak pernah terlihat sebagai seorang ibu di mataku.” potong gadis itu dengan nada terluka. Ia membiarkan polisi berteriak-teriak di telepon. “Kau tidak pernah menunjukkan jiwa keibuanmu padaku! Kau membunuh ibu kandungku! Kau hanya menginginkan uang ayahku! Dasar jalang! Wanita murahan!”

PLAK!

Satu tamparan mendarat di pipi Minjung.

“Jaga kalimatmu, Hwang Min Jung!” seru wanita itu marah.

“Untuk orang yang tidak pernah menganggapku sebagai anaknya?” ia memegang pipinya. Minjung sengaja membiarkan panggilan kepada polisi itu berjalan, agar polisi bisa mendengar semuanya apa yang terjadi. “Tidak akan pernah!”

“Beraninya kau!” wanita paruh baya itu mengangkat tangan hendak menampar Minjung.

“Ya, aku berani,” sergah gadis itu. “Untuk apa aku takut denganmu?! Setelah kau menghancurkan hidupku?! Membunuh kedua orangtuaku, mengubah diriku menjadi monster dan membuat aku kehilangan semua orang yang kusayangi?! Apa aku harus menjaga sopan santunku padamu?!”

PLAK!

Wanita itu kembali menampar Minjung.

Namun tepat pada saat itu, beberapa mobil sudah berkumpul di depan rumah gadis itu. Para tetangga keluar dari rumah mereka, ingin tahu apa yang terjadi. Beberapa orang polisi bersenjata masuk dan memenuhi halaman rumah Minjung dalam sekejap.

Minjung menurunkan ponselnya yang sedari tadi terangkat. Ia menyeringai kejam.

Dua orang polisi dengan sigap membekuk ibu Minjung, lalu menyeretnya keluar halaman. Di saat yang bersamaan, para tetangga menyebar seperti percikan bunga api, memberikan jalan bagi para polisi.

“Dengarkan aku, Minjung-ah!” seru sang ibu ketika polisi berusaha menyeretnya. “Aku mohon maafkan aku! Aku tahu kau sangat benci pada aku, karena itu ayo kita bicarkan hal ini!” wanita it uterus meronta saat polisi memaksa wanita itu masuk ke mobil polisi. “Tidak, kalian tidak mengerti! Aku harus bicara pada anakku!”

“Kami mengerti, Nyonya.” ujar salah seorang polisi. “Anak angkatmu tidak membutuhkanmu! Kami yakin kau pasti senang di sana karena suamimu sudah menunggu!” ia mendorong wanita itu masuk ke mobil , lalu membanting pintu mobil.

“Tidak!” teriak ibu Minjung histeris. “Minjung-ah!”

Gadis itu menggeleng dengan tatapan menyedihkan dan mata berkaca-kaca. Tanpa berkata apapun, ia berjalan gontai menuju pintu rumahnya, membanting pintu, bersandar, dan merosot ke lantai.

Gadis itu memeluk dan membenamkan wajahnya di lutut, melakukan apa yang seharusnya ia lakukan sejak tadi. Sekarang, ia bisa mengeluarkan air mata itu sebebas-bebasnya.

☆☆☆

Sinar matahari masuk melalui celah tirai jendela. Perlahan, Hwang Min Jung membuka matanya. Ia terkejut bahwa ia tertidur meringkuk di balik pintu rumahnya selama semalaman. Bahkan masih mengenakan seragam lengkap. Ia berdiri dengan rasa sakit luar biasa pada tubuhnya. Ia berjalan terseok-seok ke kamar, berganti baju, kemudian melompat ke tempat tidur.

Ia mengambil ponsel di meja kecil di samping tempat tidurnya, mencari kontak seseorang, lalu meneleponnya.

“Joonhee-ya,” gadis itu ternyata menelepon ketua kelasnya. “Katakan pada semua guru kalau aku sakit.”

“Sakit? Tapi―”

“Katakan saja, oke?” sela Minjung marah. “Katakan hal yang sama jika teman-temanku bertanya padamu. Kau mengerti?”

Ne.” sambungan telepon langsung terputus.

Minjung melempar ponselnya sembarangan. Ia tidak peduli apa yang terjadi pada benda itu. Ia sedang tidak ingin diganggu siapapun. Ia pun jatuh tertidur.

Minjung terbangun ketika hari sudah siang. Gadis itu menatap kosong langit-langit kamar. Kejadian semalam membuat luka yang sudah sembuh kembali terbuka, sakit dan perih saat baru pertama kali mendapatkannya.

Air mata Minjung menetes lagi. Sejurus kemudian, gadis itu kembali menangis meraung-raung. Cukup lama tangisannya reda. Tangannya meraba-raba meja kecil di samping tempat tidur, dan mengambil ponsel. Gadis itu mengenakan headphone, memutar musik dari ponsel, dan membiarkan musik itu mengisi jiwanya yang menyedihkan.

Gadis itu bahkan tidak menyadari ada seseorang yang menggedor pintu rumahnya berulang-ulang.

☆☆☆

Keesokan harinya, Minjung kembali tidak bersekolah. Untuk apa kembali ke sekolah jika yang dia dapat hanya luka?

Gadis itu duduk di hadapan televisi dengan pandangan kosong. Ia menoton acara komedi yang bahkan tidak membuatnya tertawa sama sekali. Ia hanya mengisi kesunyian rumahnya dengan bunyi televisi yang menyala.

Sampai-sampai, gadis itu tidak mendengar bunyi pindu digedor. Lagi!

☆☆☆

Ini adalah hari ketiga Minjung memutuskan untuk tidak ke sekolah. Dia tetap tidak peduli lagi dengan tempat itu dan apapun yang akan terjadi.

Namun, bagaimanapun juga, setidaknya Minjung tidak boleh membiarkan rumahnya tampak seperti rumah berhantu. Jadi, ia keluar rumah, menyadari dengan kaget bahwa selama dua hari penuh ia mengurung diri di sana. Ia menyapu, memangkas rumput, dan menyiram bunga-bunganya. Setelah itu, ia mulai membersihkan rumah; menyapu, mengepel, membenarkan letak barang, membersihkan kaca jendela, membersihkan kamar ayahnya, lalu merapikan kamarnya.

Minjung menghempaskan tubuhnya di kursi depan meja belajarnya. Ia benar-benar kelelahan. Ia menatap meja belajarnya yang masih dipenuhi beberapa buku pelajaran. Ia merapikan buku-buku itu, dan berhenti dengan tiba-tiba ketika melihat sebuah pigura.

Gadis itu tersenyum sedih ketika mengamati foto dirinya dan Donghae saat pertama kali mereka masuk sekolah. Di dalam foto itu, mereka saling berangkulan dan tersenyum ke arah kamera.

Kemudian, ia menatap jam dinding. Dua belas menit lagi jarum pendek menunjuk angka empat. Selama itukah ia melamun? Gadis itu bangkit dari tempatnya dan menuju kamar untuk mengambil jaket hitam miliknya. Dengan hanya menggunakan kaus putih yang ditutupi jaket dan celana jeans selutut, ia berjalan keluar rumah. Ia menutupi kepalanya dengan hoodie, tidak mengancingkan jaketnya, dan memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Ia berjalan perlahan menyusuri kompleks perumahan, yang ternyata tidak seramai biasanya. Ia memaksakan diri untuk tersenyum ketika melihat seorang wanita muda sedang menyiram halaman. Ia berbelok, dan tak lama kemudian ia sampai di sebuah taman bermain.

Taman bermain itu kosong, tidak ada anak-anak yang bermain di sana. Persis seperti yang Minjung harapkan. Ia duduk di ayunan, terdiam lama sekali.

Gadis itu mendongkak, membiarkan air matanya turun ke pelipisnya. Langit terlihat mendung, awan kelabu bergerak beriringan, seolah sedang membentuk pasukan untuk menghasilkan hujan. Perasaannya benar-benar buruk. Ia kehilangan Donghae, sahabat baiknya sejak kecil. Ia tidak tahu lagi bagaimana ia akan bisa menjalani hidup tanpa laki-laki itu.

Ia memejamkan mata. Ia terlalu membuat dirinya merasa paling menyedihkan di dunia ini. Ia memang kehilangan sahabat terbaiknya, tapi tidak dengan para sahabatnya yang lain. Chan, si tuan putri. Hyosung, si diktator, tukang perintah. Byul, si pemain basket ulung dan taekwondo-in cerewet yang selalu tahu segalanya. Sungmin, si korban segala gerutuannya. Kyuhyun, si peka yang selalu mendukungnya dan sepemikiran dengannya.

Namun bagaimanapun juga, ia merasa baru akan bisa berbicara pada mereka semua tentang apa yang terjadi setelah Donghae tahu.

Dengan kata lain, Lee Dong Hae harus tahu lebih dulu tentang orangtuanya sebelum para sahabatnya yang lain tahu.

Kini ia menunduk menatap sepatunya. Ia terkejut karena bukan hanya sepatunya yang ia lihat. Ada sepasang sepatu―lebih tepatnya sepasang kaki―yang berhadapan dengan sepatunya.

Tatapan Minjung menyusuri kaki itu, berhenti begitu melihat sebuah wajah. Wajah itu, balik menatapnya sendu.

“Jadi ini yang kau lakukan?” ucap orang itu. “Duduk sendirian di taman ini, dan memutuskan untuk tidak kembali ke sekolah? Beginikah caramu untuk menghindariku?”

Minjung terkesiap. Oh ayolah, ia bahkan belum menyiapkan kata yang pas untuk meminta maaf. Dan sekarang, sang sahabat sudah berdiri di depannya.

“Kau membolos..” gumam Minjung tersenyum hambar. “.. pasti karena aku.”

Keduanya diam, hanya saling menatap. Kemudian terdengar keduanya mengatakan sesuatu yang sama.

“Maaf..”

Donghae mengehla napas, mengambil tempat di ayunan di samping gadis itu.

“Aku tidak pernah menghindarimu,” ujar Minjung berpaling menatap Donghae. “Aku hanya ingin menenangkan diri. Sesuatu terjadi padaku setelah kita bertengkar, membuatku menjadi seperti ini. Kau pasti bertanya-tanya tentang hal itu. Namun sebelumnya, kau harus tahu beberapa hal yang seharusnya kau ketahui. Aku yakin, kau pasti ingin tahu tentang orangtuaku, dan kenapa ayahku meninggal..”

Donghae menatap Minjung, menyiapkan diri.

“Ibu kandungku meninggal saat umurku satu tahun. Ayahku memutuskan untuk menikah lagi saat kita lulus dari sekolah dasar. Dan dua tahun lalu, ibu tiriku membunuh ayahku di depanku.”

Laki-laki itu terperangah.

Minjung tersenyum sendu. Ia mengerjap, membiarkan air matanya turun. “Saat itu liburan sebelum masuk sekolah. Aku baru saja pulang dari rumah kakek-nenekku ketika aku melihat ibu tiriku menusuk-nusuk tubuh ayahku dengan pisau. Dia juga menembak kepala ayahku berkali-kali. Aku berteriak histeris dan menghampiri ayahku. Aku memeluk ayahku sambil menangis.. sementara itu ibu tiriku tertawa.. bersama dengan seorang pria asing.. di dekatnya. Setelah itu..”

Satu isakan Minjung lolos. Tapi gadis itu berusaha sebisa mungkin menahannya. Donghae hanya menatap nanar gadis itu. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain membiarkannya menangis. Membiarkan Minjung mengeluarkan kesedihannya, membiarkan Minjung membagi bebannya bersamanya.

“Setelah itu.. para tetanggaku.. mulai bermunculan..” lanjut Minjung serak. Ia berusaha mengendalikan suaranya. Air matanya mengalir begitu saja. “Salah seorang dari mereka.. menarikku menjauh dari ayahku. Ketika ambulans datang, mereka membawa ayahku ke rumah sakit, walaupun itu tidak ada gunanya. Ayahku tidak terselamatkan. Dan keesokan harinya, ayahku dimakamkan.”

“Donghae-ah, kau tahu?” Minjung menoleh dengan mata berair. “Jika kau pernah melihat ibuku beberapa kali, itu adalah ibu tiriku. Alasan aku tidak pernah mau menyinggung ibu tiriku di depan kalian.. itu karena..”

Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “.. karena dia selalu menyiksaku tanpa ayahku tahu. Aku.. aku akan dipukul, ditampar, dijambak, disiksa, kalau aku tidak menuruti permintaannya. Jika ayahku bertanya alasan semua lebam di tubuhku, aku tidak berani jujur karena dia akan mengancamku.. Dia selalu berpura-pura baik padaku di depan ayahku. Aku tidak pernah mau ayahku menikah lagi, tapi karena ayahku bilang aku membutuhkan sosok ibu dan istri untuknya, aku mengalah.. Well, Song Ji Hye memang istri yang baik bagi ayahku, setidaknya sampai ayahku meninggal, tapi dia ibu yang buruk untukku.. Kau benar.. aku bukanlah Minjung yang kalian kenal setelah ayahku meninggal.. aku harus mengakuinya.. Aku hancur karenanya, dan berubah menjadi orang lain untuk melupakan penderitanku..”

Donghae lagi-lagi diam, tidak bisa berkata-kata. Sekarang ia tahu siapa yang telah mengubah Hwang Min Jung nya menjadi gadis mengerikan. Bukan salah Minjung ia menjadi sosok bermulut pedas, penindas, kurang ajar, sombong, pelanggar peraturan, dan gadis yang suka memainkan perasaan. Mengingat Minjung yang ia kenal sejak awal sekolah dasar adalah Minjung yang sosoknya bak malaikat baik hati tak bersayap yang terjebak di bumi yang kejam.

“Ada satu hal lagi yang perlu kau tahu..” lanjut Minjung. “Setelah kematian ayahku.. aku baru tahu kalau ibu kandungku dibunuh oleh.. ibu tiriku.”

Donghae menghembuskan napas yang ditahannya.

“Lalu.. pada hari saat kita bertengkar..” Minjung melanjutkan. “Malam harinya, dia datang ke rumahku..”

Pikiran Minjung mengenang kejadian malam itu. Dan air matanya menetes lagi saat ia menceritakannya kembali pada laki-laki ini.

Donghae memejamkan matanya, menyadari betapa bodohnya ia karena membiarkan sahabat terbaiknya hancur seperti ini.

Donghae bangkit, berdiri di depan gadis itu, membuat Minjung mendongkak. Ia menggenggam kedua tangan Minjung dengan lembut, berusaha menyalurkan kehangatannya pada gadis itu.

“Semua orang tahu kalau kau sangat cerdas.” ucap laki-laki itu pelan. Ia menatap Minjung dalam. “Tapi mengapa kau begitu bodoh dengan menyimpan semua ini sendirian?” lirihnya berkaca-kaca. Ia menyeka air mata Minjung dengan jemarinya. “Tidakkah kau tahu semua ini membuatmu menderita?”

Donghae membawa Minjung ke pelukannya. Ia tidak akan heran saat Minjung menangis dengan begitu memilukan di sana. Ia menopang dagu di kepala Minjung, menghembuskan napas berat sambil mengusap lembut kepala dan punggung gadis itu.

“Aku minta maaf, Jungie..” bisiknya. “Karena tidak begitu paham akan dirimu.. juga atas apa yang sudah aku lakukan padamu..”

Minjung masih menangis, mengeratkan tangannya yang melingkar di pinggang Donghae, sesenggukan di pelukan sahabat terbaiknya, sama sekali tidak mau melewatkan kasih sayang yang seharusnya ia dapat.

☆☆☆

“Dari mana kau tahu aku ada di sana?”

Minjung dan Donghae kini menempuh perjalanan ke rumah gadis itu. Hari sudah senja ketika mereka memutuskan kembali.

“Intuisi,” jawab Donghae mengangkat bahu, seolah seharusnya Minjung tahu apa jawabannya.

“Apa mereka semua tahu kalau kita bertengkar?”

“Sepertinya tidak,” laki-laki itu membalas. “Tapi kalau Byul sudah menduganya, mereka pasti akan segera tahu.”

“Gadis itu memang selalu tahu segalanya.” Minjung menggerutu. “Termasuk tentang orangtuaku.”

Donghae menoleh.

“Di antara kita semua, hanya dia yang datang ke pemakaman ayahku.” jelas Minjung. “Mau tidak mau, aku harus menceritakannya. Setelah dia memaksaku selama satu bulan.”

“Dan aku sudah bisa membayangkan betapa hebohnya dia saat itu.”

Minjung langsung terbahak, membuat Donghae ikut tertawa.

Donghae yang berhasil menghentikan tawanya lebih dulu. Ia memandang Minjung yang masih tertawa. Ia sangat bahagia, melihat Minjung sudah merasa lebih ringan dari biasanya.

“Sudah selesai?” Donghae menghadapkan wajahnya dengan gadis itu.

Minjung melepas tawa terakhir, menghela napas, dan mengangguk. Ia dan Donghae kembali berdiri tegak, meneruskan langkah mereka.

Laki-laki itu memasukkan kedua tangan di saku celananya. “Senang melihatmu begini..” gumamnya.

“Aku benar-benar lega sekarang..” Minjung merentangkan tangan. “Ah, senangnya!”

“Itu karena kau membagi bebanmu bersama orang lain..” Donghae bicara tanpa menatap gadis itu. Ia terus menatap ke depan. “Kau tidak boleh menyembunyikan apapun lagi dariku. Aku akan selalu memperhatikanmu. Kita akan melewati masa sulitmu bersama, secara perlahan tentunya. Aku akan menuntunmu untuk menjadi lebih baik.”

Minjung diam.

Donghae menepuk bahu gadis itu. “Dan jangan pernah ragu untuk mendekatiku kapanpun kau butuh aku.”

Gadis itu membalas tatapan Donghae. “Apa maksudmu?”

“Sejak kita mengenal Chan, kau sedikit menjauh dariku hanya karena kau ingin menjaga perasaannya. Benar kan?”

Minjung mendadak berhenti melangkah. Begitu juga dengan Donghae.

“Chan memang sangat berarti bagiku.” Donghae tersenyum. “Tapi percayalah, Chan hanya belum bisa menyesuaikan diri dengan interaksi kita yang amat sangat dekat. Kau tanggung jawabku, sekalipun aku menikah lebih dulu darimu. Tapi jangan khawatir. Aku akan berhenti menjadi penanggungjawabmu sampai kau menemukan seseorang yang dapat membuatku percaya kalau dia sangat mencintaimu dan menerima apapun yang ada pada dirimu. Dia akan mengerti hal itu.”

Minjung kesulitan menemukan kalimat yang tepat untuk membalas sahabatnya. Air matanya jatuh lagi, dan ia memeluk Donghae.

Laki-laki itu membalasnya dengan sepenuh hati.

“Terima kasih..” ucap Minjung dalam pelukan laki-laki itu. “Sungguh, terima kasih..”

Tujuh detik kemudian, Minjung melepas pelukan. Mereka kembali berjalan.

Suasana kembali hening. Percakapan mereka terhenti beberapa saat. Hanya terdengar gesekan antara sepatu mereka dengan jalanan. Jalanan itu benar-benar sepi. Mungkin karena langit mendung, dan orang-orang tidak berminat keluar dari rumah mereka yang hangat.

“Donghae-ah?” Minjung memanggil setelah beberapa lama mereka terdiam. Lima meter lagi, mereka sampai di rumah gadis itu.

Laki-laki itu menoleh, menunggu.

“Maukah kau berjanji padaku?”

“Apa?”

“Soal orangtuaku dan pertengkaran kita.” Minjung mengacungkan jari kelingkingnya. “Aku sudah membuat Byul berjanji untuk diam sampai aku mengatakan semua ini padamu. Sekarang, maukah kau tetap diam sampai aku sendiri yang memberitahu mereka?”

Donghae menautkan kelingkingnya dengan gadis itu, mengangguk.

Mereka saling menempelkan ibu jari. Kemudian sama-sama tersenyum.

☆☆☆

Kedua orang itu langsung memasuki rumah Minjung ketika hujan mulai turun. Untunglah mereka tidak basah kuyup. Mereka menuju meja makan, Minjung mempersiapkan makan malam mereka.

Selama makan malam, Donghae menceritakan pada Minjung keadaan di sekolah selama ketidakhadirannya. Cukup berpengaruh memang saat si pengacau cerdas mereka tidak hadir selama tiga hari berturut-turut. Para guru yang kesal padanya bahkan mulai menyadari bahwa mereka ‘membutuhkan’ gadis itu di kelas. Entah untuk dibuat kaku karena pertanyaan cerdas sambil lalunya, jawaban masa bodoh dari pertanyaan yang selalu diberikan dengan amat sangat tepat, atau untuk melakukan debat penuh perhitungan yang tidak akan bisa dijalankan oleh siswa secerdas Hwang Min Jung.

“Aku baru tahu ternyata mereka sebegitu kehilangan diriku. Padahal kukira mereka semua berharap aku menjalani detensi setiap hari.” Minjung menegak segelas air.

Donghae tertawa. “Ya. Kapan kau akan berhenti membuat mereka gila?”

Minjung mengerutkan bibir. “Sekolah pasti akan sangat heboh kalau tahu pengacau mereka bertaubat. Tapi kau benar. Mungkin besok aku akan mulai untuk menjadi gadis baik dan benar. Jangan salahkan aku kalau aku masih kesulitan mengendalikan mulutku.”

Donghae tersenyum lembut, mengangguk penuh pengertian. “Itu berarti, kau akan kembali ke sekolah kan?”

Minjung mengangguk.

“Baguslah.” Donghae meraih ranselnya, mengambil beberapa buku dan meletakkannya di atas meja. “Para guru menghukum kami dengan memberikan banyak tugas karena kami tidak bisa menjawab pertanyaan yang mereka berikan. Ditambah lagi hari ini aku membolos. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku.”

Gadis itu tersenyum geli. “Sebanyak itu? Kurasa kau akan menginap malam ini.”

“Aku sudah memperkirakannya,” laki-laki itu menutup buku. “Lagipula diluar masih hujan.”

Mereka makan dalam diam sampai salah satu memanggil yang lain.

“Minjung-ah?”

Gadis itu mengangkat wajah.

“Bagaimana dengan Eunhyuk?” laki-laki itu bertanya. “Dia menyesal atas semua yang sudah dia lakukan padamu..”

“Benarkah?” Minjung bertanya, lupa menutupi nada antusias dari suaranya.

“Dia sendiri yang mengaku padaku.”

Minjung tidak langsung menjawab. “Aku pun begitu.”

Mendengar kalimat itu, senyum Donghae merekah.

Minjung memasukkan suap terakhir nasi ke mulut. Ia meletakkan sumpit, dan mendorong piringnya menjauh. “Aku sudah selesai.” ujarnya mengumumkan. “Silahkan telepon imo. Biar aku yang membereskan semuanya.”

Donghae membantu gadis itu membereskan piring kotor dan membawanya ke dapur. Minjung mulai membersihkan piring dan gelas kotor saat laki-laki itu keluar dapur dan menelepon sang ibu. Ia bisa mendengar suara Donghae samar-samar.

“Ya, imo, nanti aku cerita.. Apa? Tidak, dia tidak sakit.. Dia sendirian di rumah, dan sekarang hujan.. Baju? Oh ayolah.. Minjung menyimpan beberapa bajuku di lemarinya.. Tentu saja, kami makan dengan baik, sup jamur dan bulgogi. Ya, aku membawa cookies imo, dia pasti senang sekali.. Setiap hari? Imo, Joohae akan mengejekku saat dia melihatku membawa kotak kue ke sekolah..”

Donghae menoleh ketika Minjung keluar dari dapur, menuju kamarnya. Ia keluar dengan membawa beberapa buku. Ia meletakkan semua itu di meja makan. Gadis itu menunggu sahabatnya sambil tersenyum.

“Baik, imo. Aku mengerti.. Kami harus belajar sekarang, dan Minjung sudah menungguku.. Bicara? Aku sarankan imo bicara langsung padanya. Sampai jumpa..”

Donghae menutup telepon, memasukkan ponsel ke dalam saku, menuju meja makan tempat Minjung menunggunya.

Well..” Donghae mengeluarkan sebuah toples berisi penuh oleh kue, menggesernya mendekati gadis itu. “Ini bayaranmu.”

Minjung menyeringai, lalu merentangkan tangan. “Sini, biarkan aku memelukmu!”

Entah mengapa Donghae merasa jijik luar biasa. Minjung tertawa senang.

Di luar, hujan turun dengan lebatnya. Hal itu tidak menyurutkan semangat Minjung untuk menjelaskan beberapa materi dengan sabar. Juga tidak membuat Donghae putus asa dalam mengerjakan soal-soal rumit di depan matanya.

“Bukan begitu caranya,” Minjung menunjuk pekerjaan Donghae sambil mengunyah kue. “Coba kerjakan lagi.”

Donghae kembali menekuni soalnya. Setelah selesai, ia menunjukkan hasil kerjanya pada gadis itu. “Bagaimana?”

Minjung langsung tersedak begitu melihat pekerjaan Donghae―ia sedang makan saat ini. “Oh ayolah,” erang gadis itu. “Aku hanya butuh setengah halaman untuk ini, kau tahu?! Dan kau menghabiskan satu lembar penuh bukumu?!”

“Tapi jawabanku benar kan?”

“Tapi tetap saja..” Minjung memasang raut wajah sedih. “Itu pemborosan.. Kau hanya akan membuat kayu di hutan semakin berkurang.”

Donghae memanyunkan bibirnya. “Baiklah..” ia menyerahkan tugasnya pada Minjung. “Ajari aku, Hwang seonsaengnim..”

Minjung kemudian mengajari Donghae, mengerjakan soal dengan caranya yang jauh lebih mudah dan lebih bisa dimengerti.

Setelah itu, Donghae mengerjakan semua tugasnya sendirian. Tanpa bantuan Minjung sedikitpun!

Ketika jarum panjang menunjuk angka tujuh dan jarum pendek menunjukkan angka sebelas, Donghae baru menyelesaikan seluruh hukumannya (dan teman-temannya). Dengan gagah berani ia mengacungkan hasil kerjanya pada Minjung. “Bagaimana?”

Tidak ada jawaban.

“Minjung-ah?”

Hening. Padahal gadis itu ada di sampingnya.

“Minjungie?!” panggil Donghae lebih keras. Saat ia menoleh, ia benar-benar terkejut.

Ternyata, Hwang Min Jung tertidur dengan kepala terbaring di meja. Beberapa buku dan kertas nyaris menutupi wajahnya.

Donghae menghela napas. Ia membereskan bukunya dan buku Minjung, membuang kertas-kertas yang tidak diperlukan, lalu menyelipkan satu tangannya di bawah lutut dan tangannya yang lain merangkul Minjung. Ia membawa gadis itu ke kamarnya. Dengan perlahan, ia membaringkan Minjung di tempat tidur, menyelimutinya, dan duduk di kursi depan meja belajar gadis itu.

Ia menatap jendela. Di luar masih hujan, mungkin baru akan reda besok pagi. Ia berpaling ke kamar gadis itu. Kamar ini diisi oleh tempat tidur, lemari pakaian, meja rias, meja belajar, dan rak buku besar yang memenuhi salah satu permukaan dinding. Ia mendelik ketika melihat lantai dekat salah satu rak buku gadis itu. Ponsel yang mati dan teronggok begitu saja. Sekarang ia mengerti mengapa Minjung tidak membalas pesan teman-temannya dan tidak ada satu pesan dan telepon dari gadis itu untuknya atau untuk sahabatnya yang lain.

Ia menatap meja belajar Minjung. Hanya ada satu buku di sana. Sampulnya bergambar lukisan mosaik abstrak. Buku ini membuat Donghae tertarik.

Pada dua halaman pertama, Donghae melihat sebuah gambar bukit landai, matahari, awan, dan burung-burung kecil. Di pojok kanan bawah halaman, Minjung menulis: Untuk kekonyolan dan mimpi yang tidak akan terwujud.

Ketika membuka halaman berikutnya, Donghae terkejut setengah mati.

v

To Be Continued

 v

🙂

Ini adalah part terpanjang yang pernah ada HEHE

Aku mau klarifikasi, bagi kalian yang baca LTH dan ada part yang Eunhyuk ngejelasin tentang masa lalu Minjung ke orangtuanya, nah disitu Eunhyuk bilang kalo ibu Minjung meninggal pas Minjung baru lahir, itu salah. Di part ini yang benar soal masa lalu Minjung WQWQ

Masih ada yang ngebaca sampa ini kah?

6 thoughts on “Fall For You 4

  1. ini boleh ngeship minjung sama dongai aja gak? kesel ih tadi sama si dongai yang baperan tapi kesini eh malah pengen mereka jadi aja, saling melengkapi gitu donge baperan minjung gapeka wwkkwkwkwk.
    bagus nih pake flashback juga, tapi bagian minjung nyeritain masa lalunya itu, lebih enak kalo dalam bentuk cerita lalu, i mean bukan dari mulut minjung sendiri but cerita dengan sudut pandang orang ketiga:)
    but overall aku sukak sih, panjang soalnya ekekek.
    mau dong sahabat satu kek dongai:”)))
    btw maaf banget yak udah ngetrash banget disini hikzz;)

    Liked by 1 person

    1. Jangan eon, kasian Eunhyuk sama Chan HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAH cukuplah mereka kek Harry Hermione hehe hehe 😂 tadinya aku mau bikin gitu, semacam flashback, tapi susa masa, aku susa ngedeskripsiin bunuh2annya, takut ga dapet feel, yawdah deh, biar asique aja ada donge minjung pelukan ea HAHAHA gapapa2 eon, aku suka jadinya ada notif HEHE

      Like

  2. jadi itu sebabnya minjung berubah jadi gadis keras kepala, bener2 ibu tiri yg kejam, sekrjam perlakuannya terhadap orang tua minjung.. oh ya diperhatiin kok donghae nya ngasih perhatian ke minjung lebih dari sekedar sahabat ya, kek orang yg suka sm yeoja

    Liked by 1 person

Leave a comment