A ‘Little’ Touch

af650094525be970c065d76cc8cf7a1c

That annoying things, however, makes them happy.

***

MATAHARI sudah tinggi di langit. Hari mulai menggelincir. Tidak ada yang terdengar selain suara angin berhembus dan deburan ombak yang memukul batu karang. Bebatuan itu menjorok membentuk semenanjung, berbatasan langsung dengan padang rumput.

Semenanjung itu panjang dan sempit. Burung camar melayang-layang di angkasa, sesekali menukik tajam ke arah laut untuk menyambar ikan yang muncul di permukaan. Salah satu dari mereka terbang dengan santai, turun perlahan, dan bertengger di pagar putih yang mengelilingi sebuah rumah kecil.

Di balik jendela rumah itu, ada seorang gadis di sana, berdiri memandang dengan tatapan kosong laut di luar. Dia menyusurkan tangan di rambut panjangnya, dan menghela napas. Ia berbalik, menatap dengan jengah ruangan di belakangnya yang terlihat kacau balau.

Ruangan itu diisi oleh sebuah kursi putar, sebuah kursi kecil, sebuah meja kecil, dan sebuah meja besar. Meja besar itu berantakan sekali. Kertas-kertas bergambar dan yang sudah diremuk bahkan dirobek bertebaran di lantai dan meja. Sementara tumupukan ketas kosong berada di atas kursi itu, yang terletak di sudut ruangan. Sebuah lemari kayu kecil yang berada beberapa senti dari atas meja terbuka begitu saja, menampakkan beberapa peralatan tulis dan pensil warna yang masih baru dan sudah dipakai. Ada sebuah tali yang bergantung sepanjang ruangan, menampilkan beberapa desain yang akhirnya berhasil digambar si gadis.

Gadis itu kembali menatap keluar jendela. Ia kehabisan ide. Ia membutuhkan inspirasi untuk kembali membuat desain baju. Sesosok wanita dengan pakaian elegan sudah ada tepat di depan matanya, tapi ia tidak bisa melihatnya. Otaknya seakan berkabut.

Pintu ruangan itu terbuka, menandakan ada seseorang di sana. Seorang laki-laki, lebih tepatnya. Gadis itu tidak menunjukkan ekspresi bahwa dia mendengar sesuatu. Ia seakan tengah terhipnotis dengan ‘lagu laut’ yang ‘dimainkan’ di luar, sehingga dia tidak ingin melewatkan lagu itu dengan menengok seseorang di ambang pintu.

Laki-laki itu tersenyum, sama sekali tidak kelihatan marah karena tidak mendapat sambutan. Ia berjalan perlahan – menghampiri gadis itu – berusaha tidak membuat suara dengan langkahnya. Kini ia sudah berdiri di depan gadis itu. Dan dengan gerakan selembut sutra, ia mengalungkan kedua lengannya di pinggang ramping sang gadis.

Gadis itu tidak kelihatan kaget sama sekali. Dari pantulan bayangan di kaca jendela, ia melihat laki-laki itu sedang membenamkan wajah di bahunya. Sesekali ia menghirup aroma tubuh gadis itu. Tanpa disadarinya, gadis itu memejamkan mata, menikmati apa yang laki-laki itu lakukan.

Si laki-laki mengangkat wajah, mengetahui bahwa gadis itu tengah bersandar pada tubuhnya. Ia tersenyum.

“Kau menyukainya, ternyata..” ucapnya memulai.

Sang gadis membuka mata. Ia menanggapi kalimat itu dengan agak sedikit menyimpang. “Dari mana saja kau?”

“Menghilangkan stres karena seseorang mengabaikanku.” jawabnya langsung.

Laki-laki itu memiringkan kepalanya beberapa derajat. Ia mengecup lembut pipi gadis itu. Satu kali, dua kali, sampai akhirnya ia melakukannya berkali-kali.

“Apa kau tahu bahwa kaulah seseorang itu?” ia kembali bersuara setelah puas menghiasi pipi gadisnya dengan kecupan yang ia berikan.

Kembali gadis itu mengalihkan pembicaraan. “Apa ini yang selalu kau lakukan pada para mantanmu dulu, hmm?”

Laki-laki itu menatap mata gadis itu dari kaca. “Tidak juga. Aku hanya melakukan ini padamu, kurasa.”

“Tukang gombal.” gadis itu mencibir. “Kau tahu segala macam perkataan manismu tidak berlaku padaku.”

“Aku tahu.” laki-laki itu mengangguk. “Tapi kelihatannya kau diam-diam menyukainya.”

Gadis itu menautkan kedua alisnya, menunjukkan ekspresi antara pura-pura bingung dan pura-pura tidak suka.

“Aku mencintaimu, Cha Hyo Sung..” tiba-tiba laki-laki itu berucap.

“Aku juga mencintaimu, Lee Sung Min..” gadis itu – Hyosung – menoleh. “Karena itu berhentilah mengangguku dan biarkan aku bekerja, oke?”

Namun tepat pada saat Hyosung ingin melepas tangan Sungmin – laki-laki itu – dari pinggangnya, laki-laki itu malah semakin mempererat rangkulannya.

“Tidak,” Sungmin menggeleng. Kini satu lengannya melingkar di leher Hyosung. “Lihatlah dirimu,” mereka berdua menatap bayangan mereka di kaca jendela. “Kau tampak kacau. Ada lingkaran hitam di matamu.”

Gadis itu mendesah. “Kau seperti baru melihatku seperti ini saja.” ia memegang lengan kekar Sungmin yang melingkari lehernya.

“Justru itu.” sahut Sungmin. “Kau butuh istirahat, nona Cha..”

“Aku baru saja mendapat inspirasi untuk desain terbaruku.” Hyosung berkeras.

“Sekali kukatakan tidak, itu berarti tidak.” kata Sungmin lembut, namun tegas.

Hyosung terdiam. Tiba-tiba, ia melonggarkan rangkulan Sungmin, lalu berbalik sehingga kini mereka berhadapan. Ia menempelkan dahinya di dahi laki-laki itu, ikut melingkarkan kedua lengannya di leher laki-laki itu.

Ia tersenyum. “Lee Sung Min, priaku yang baik,” ucapnya sehalus mungkin. “Sebelum inspirasiku menguap karena gangguanmu, aku harus menyelesaikan desainku. Paham?”

“Bukankah sudah kubilang – “

“Ssst,” Hyosung menempelkan telunjuknya di bibir laki-laki itu, kemudian mengecupnya singkat. “Aku harus bekerja.”

Sungmin menatap mata Hyosung dengan tatapan kosong. Perlakuan manis dan perkataan lembut Hyosung selalu membuatnya tampak seperti orang bodoh. Tanpa diduga, ia melepas rangkulannya di tubuh gadis itu. Hyosung segera mendudukkan dirinya di kursi beroda berbantalan empuk, bergerak ke lemari untuk mengambil pensil, lalu ke sudut ruangan untuk mengambil buku gambar, dan menuju meja. Ia mulai mengambar.

Ketika Hyosung baru saja meletakkan ujung pensil di kertas itu – membentuk setitik kecil grafit di buku sketsa – ia berhenti dengan mendadak. Inspirasinya menghilang begitu saja.

Tiba-tiba seseorang menarik kursinya ke belakang. Siapa lagi kalau bukan Lee Sung Min?

Laki-laki itu memutar kursi Hyosung, mengapit tubuh gadis itu dengan kedua lengan bertumpu pada lengan kursi. Ia mensejajarkan wajahnya dengan gadis itu, tersenyum miring. Seringaian yang terkadang membuat Hyosung bergidik ngeri.

“Kau tahu? Kau punya bakat tak wajar untuk menakuti orang.” kata Hyosung berusaha untuk tidak terdengar gugup.

Sungmin mengangguk dan menyeringai seram. “Kurasa kau butuh sedikit sentuhan kecil agar pikiranmu terbuka.” ujarnya mendekatkan wajahnya pada wajah Hyosung.

Dan pada akhirnya, mata coklat Hyosung membulat saat Sungmin menjamah bibirnya. Ia bisa melihat mata laki-laki itu terpejam tenang, sementara napasnya mulai beradu dengan napas kekasihnya. Tangan Sungmin memegang tengkuk Hyosung, mendorongnya untuk memperdalam pagutan mereka. Seakan kalah, gadis itu mulai memejamkan matanya. Juga melingkarkan ledua lengannya di leher laki-laki itu. Tidak lupa membalas perlakuan Sungmin.

Padahal Sungmin hanya menempelkan bibirnya pada bibir Hyosung, dengan sesekali mengulumnya lembut. Tapi entah mengapa, sentuhan kecil itu membuat gadis itu luluh seketika. Memangnya hanya Cha Hyo Sung saja yang bisa membuat Lee Sung Min tampak seperti orang bodoh? Lee Sung Min juga bisa membuat Cha Hyo Sung tampak bodoh!

Beberapa detik kemudian, Sungmin melepas tautan itu. Ia melepas rangkulan Hyosung di lehernya, kemudian memutar kursi, menuntun gadis itu kembali ke depan meja besar, ke depan buku sketsa yang terbuka.

Hyosung terdiam dengan tatapan kosong, seakan tengah mengumpulkan kesadarannya bahwa kini Sungmin tidak lagi menciumnya. Ia menatap keluar jendela. Ia melihat seekor burung camar yang bertengger di karang yang mencuat di tengah laut, ditimpa sinar matahari yang seolah-olah hanya menyorot unggas itu.

Gadis itu tersenyum. Ia mendapat kembali inspirasinya.

Ketika pensil Hyosung mulai bergerak santai membentuk sketsa, mau tidak mau Sungmin yang berdiri di salah satu sudut ruangan, ikut tersenyum.

“Bukankah sudah kubilang, kau membutuhkan itu?”

Hyosung menyembulkan kepalanya dari buku sketsa. “Aku tahu,” jawabnya. “Terima kasih.”

“Siapa sangka kau sering mengalami hal seperti ini? Mungkin seharusnya aku lebih sering menicummu.” Sungmin berucap. Seakan baru menyadari balasan Hyosung, ia mendengus geli. “Kau tidak harus berterima kasih karena mendapat itu dariku.”

Tanpa sadar, jemari Hyosung terangkat menyentuh bibirnya.

“Kau mau lagi?” tanya Sungmin spontan ketika melihat hal itu. “Tenang saja, kau pasti akan mendapatkan lebih. Tapi kau harus menunggu sampai nanti malam.” ia menyeringai.

Hyosung menampakkan ekspresi bahwa ia benar-benar bingung. Sungguh!

“Kau akan tahu nanti.” Sungmin menggoyangkan tangan seakan itu tidak penting. “Aku menunggumu di pantai, nona Lee..”

Dengan kalimat itu, Lee Sung Min membuka pintu. Ia keluar dengan membiarkan pintu di belakangnya tertutup.

Hyosung memiringkan kepala, masih berpikir keras dengan maksud Sungmin tadi. Mulai bosan dan tidak menemukan jawaban yang tepat, ia mengangkat bahu, kembali melanjutkan sketsa lukisannya.

Dua belas menit kemudian, sketsa kasar lukisan itu selesai. Dan ketika ia menutup buku sketsanya, sesuatu terlintas di benaknya.

Bagaimanapun juga, Cha Hyo Sung pasti luluh dengan semua kalimat romantis Lee Sung Min. Namun ia tidak akan menunjukkan hal itu secara nyata pada sang kekasih. Bisa-bisa ia menjadi bahan ejekan selama satu bulan penuh.

“Hyo–ya, cepatlah!” teriak Sungmin dari luar. Membuyarkan lamunan gadis itu. “Kau tidak akan meninggalkanku di sini selamanya ‘kan?”

Ia membereskan peralatan melukisnya sambil tersenyum, setelah itu menyusul Sungmin.

“Aku datang!”

b

End

 b

KRIK KRIK

HEHEHE map aku ngilang lama, dan Cuma ini yang bisa aku kasih

Aku lagi bikin cerita Kyu-Byul nih, spesial enlistment hehe

Dan prekuel cerita Hyuk-Jung

Cerita Hae-Chan nyusul WQ

6 thoughts on “A ‘Little’ Touch

  1. Kereeen . sweet. Aduh romantisnya babang mimin buat tergila gila. Sering2 aja begituan biar hyo sung cepat dapat inspirasi 😂😂

    Liked by 1 person

  2. I’m Kate, jail-bait, bisexual. I yearning to find out a confederate without complexes. If I’m interested in you – Add me

    p.s. my sobriquet – katekitten

    Like

Leave a reply to Lovevy Cancel reply