Untouchable 3

jl_taylorswift_untouchable

#3 : Teardrops on her guitar

1 | 2 | 3 | 4 | 5 (END)

***

LEE Dong Hae duduk di atas pasir bersandar pada sebuah pohon kelapa. Ia memejamkan matanya, menikmati semilir udara asin di pantai yang sunyi ini. Tiba-tiba, ia mendengar seseorang meneriaki namanya.

Ia duduk tegak dan membuka matanya. Di tepi pantai, ia melihat seorang gadis mengenakan topi pantai, kaus, dan celana pendek tengah berlarian menghindari ombak. Ia merasa mengenal gadis itu, namun entah mengapa ia kesulitan menyebutkan namanya. Seakan ada sesuatu yang menyumbat kerongkongannya ketika ia ingin menyebutkan nama gadis itu.

Gadis itu berbalik menatapnya. Donghae nyaris lupa bernapas karena ia bisa dengan jelas melihat gadis itu. Kacamata hitam yang dikenakan gadis itu tidak membuat Donghae kesulitan mengenalinya. Tapi tetap saja ia tidak bisa meneriaki nama gadis itu.

Ketika ia berdiri hendak mengejar gadis itu, entah mengapa secara tiba-tiba gadis itu menghilang. Ia berlari mengejarnya, dan tiba-tiba ia terantuk sebuah batu. Namun anehnya, ia bukan jatuh di atas pasir. Melainkan di tempat tidurnya.

Donghae membuka matanya. Ia membalikkan badan dan melompat bangun dari tempat tidur. Seperti biasa, dia akan melihat adiknya Joohae membuka tirai kamarnya.

“Tumben, oppa bangun sepagi ini.” ucap gadis itu. “Aku menunggu oppa di bawah, ya.”

Ia membalas sang adik dengan menguap, lalu mengusap-usap wajahnya.

Ah, lagi-lagi mimpi itu..

Selalu berakhir misterius. Setiap kali ia ingin mengetahui gadis dalam mimpinya, gadis itu pasti menghilang, atau berubah menjadi cahaya, atau apalah sehingga ia tidak tahu siapa orang itu.

Mimpinya kali ini agak berbeda. Untuk pertama kalinya ia bisa melihat gadis itu dengan jelas.

Namun gadis itu bukan Minri, kekasihnya sekarang.

Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, seolah berusaha untuk melupakannya dan tidak mempercayainya. Ia berdiri, membersihkan diri, dan bersiap mengantar adiknya dan pergi ke kampus.

Hari ini ia tidak melihat Chan dimanapun. Juga para sahabatnya. Ia hanya melihat Joon bersama teman-temannya. Lagipula peduli apa dia pada gadis itu? Mengapa ia harus mencarinya? Untuk masalah ini, Donghae tidak akan membiarkan dirinya meminta maaf duluan. Chan yang salah, jadi Chan yang harus meminta maaf lebih dahulu. Egonya terlalu besar untuk memberikan Yoo Seung Chan sebuah kata ‘maaf’.

Ia tersenyum saat melihat gadisnya berada di kantin. Secepat kilat ia datang ke sana.

Tidak terasa sudah dua bulan Donghae bisa mempertahankan hubungannya dengan Jung Min Ri. Tak dipungkiri olehnya bahwa ia ikut masuk dalam gosip miring tentang Minri. Tapi apa pedulinya? Ia terlalu mencintai gadis itu, jadi gosip-gosip itu tidak dipedulikannya. Meskipun terkadang ia merasa yang berperilaku sebagai kekasih yang baik, dan Minri bersikap terlalu biasa-biasa saja.

“Minri-ah, aku akan mengantarmu pulang hari ini.” tawar Donghae seperti hari-hari sebelumnya.

“Tapi..” gadis manis itu berusaha menolak, namun sepertinya ia tidak tega.

“Ayolah..” rayu Donghae. “Aku belum pernah ke rumahmu.. Aku janji aku akan bersikap baik! Aku janji!”

“Emm..” Minri tampak berpikir, lalu berkata enggan. “Baiklah..”

Jung Min Ri tak dapat menahan senyumnya saat melihat reaksi berlebihan Donghae. Hampir dapat disamakan seperti seorang anak kecil yang dibelikan balon. Laki-laki itu menarik tangan si gadis dan berlari menuju tempat parkir dengan terlalu senang. Begitu pula di perjalanan. Donghae tak henti-hentinya berseru kegirangan ketika Minri menunjukkan jalan menuju rumah gadis itu.

“Akhirnya!” pekik Donghae gembira saat mobilnya terparkir di depan rumah Minri. Hari sudah malam ketika mereka sampai di sana. Ia turun dari mobil dengan bersemangat, berlari kecil sepanjang jalan setapak menuju pintu rumah.

Langkahnya terhenti ketika ada seorang anak membuka pintu.

Di belakangnya, Minri tersenyum menyambut sang pembuka pintu. “Minhyuk-ah..” panggilnya menghampiri anak itu, lalu menggendongnya.

Donghae speechless. Ia hanya menonton kebersamaan ibu dan anak itu dengan perasaan tak tentu. Bingung, kecewa, bodoh.

“Jadi.. rumor itu benar?” ucapnya tercekat.

Minri mengangguk. “Aku sudah berusaha menjelaskannya padamu, tapi kau tidak mau dengar. Inilah salah satu alasan kenapa aku menolak ajakanmu untuk ke rumahku. Tapi itu justru lebih baik, agar kau tahu semuanya. Ini anakku, Donghae-ssi, Kang Min Hyuk. Kau tahu? Aku tidak pernah menganggapmu sebagai pacarku karena aku tahu hal ini akan terjadi. Maafkan aku..”

Laki-laki itu berjalan gontai meninggalkan rumah Minri. Yah, seperti sebelumnya, kisah cinta laki-laki itu berakhir.

Ia kembali ke rumahnya dengan perasaan hancur. Ia tidak mengindahkan sang adik yang memandangnya bingung. Ia langsung masuk ke kamarnya dan melompat ke tempat tidur.

“Oh, tidak, tidak..” Donghae mengusap-usap wajahnya. “Aku memacari wanita yang sudah berkeluarga! Aku benar-benar sudah gila!”

Ia sedih, kecewa, marah! Ia menyesali kehidupan cintanya yang miris! Ia benci hidupnya yang seperti ini! Tak bisakah ia mendapatkan kekasih yang.. mengerti akan dirinya? Paham semua keinginannya? Ia tampan, pintar, dan kaya! Ia punya segalanya yang ia inginkan! Ia bisa melakukan apapun yang ia mau! Semua keluarganya sangat mencintainya! Sahabatnya sangat peduli padanya!

Tunggu dulu.

Tiba-tiba nama Yoo Seung Chan terngiang-ngiang di kepalanya.

Kalimat ‘sahabatnya-sangat-peduli-padanya’ berputar-putar di otaknya.

Donghae duduk di tempat tidur, merenungkan kalimat itu. Atau seharusnya ia meralat kalimat itu. Bahkan kini sahabatnya tidak lagi peduli padanya. Dan itu semua salahnya!

Ia berdiri, menghampiri sudut kamar. Ada sebuah meja di sana, terdapat bingkai foto, buku, beragam miniatur, bahkan kotak kosong. Ia tersenyum kecil. Semua benda ini mengingatkannya pada gadis tak waras itu.

“Yoo..” gumamnya. Ia mengambil sebuah buku, yang ternyata novel The Big Four karya Agatha Christie. Chan memberikan buku itu sebagai hadiah ulang tahun ke-14 Donghae. Saat Donghae bertanya kenapa ia memberikan hadiah ini, Chan beralasan dengan berkata: ‘Aku tidak mungkin ‘kan mengoleksi dua buku yang sama? Aggie pasti tak suka kalau aku belum melengkapi koleksi bukunya.’. Konyol memang, Chan memanggil penulis itu dengan sebutan ‘Aggie’ seolah-olah mereka saling kenal.

Berikutnya, ia mengambil miniatur Crayon Shinchan yang sedang tidur dengan memegang jam kecil. Donghae terkekeh. Ini adalah hadiah ulang tahun Donghae yang ke-16. Ia ingat saat itu Chan berkata bahwa ia lupa membeli hadiah untuknya. Jadi gadis itu pulang ke rumah, mengambil miniatur itu dari sekian banyak koleksinya, dan memberikan itu pada Donghae. Ia ingat betapa kerasnya usaha Chan saat gadis itu merayunya agar menerima hadiah itu, walaupun sebenarnya ia sangat tidak menyukainya.

Ada banyak benda aneh, tidak rasional, dan tidak masuk akal yang diberikan gadis itu pada Donghae sebagai hadiah ulang tahun. Tikus karet, sebuah kotak yang didalamnya terdapat kertas bertuliskan ‘Mungkin kau akan dapat hadiah bagus tahun depan’, majalah anak-anak, stiker bergambar salah satu kartun Disney, Beauty and the Beast, bahkan senar gitar bekas milik Chan.

Kalian pasti bertanya, mengapa Donghae tidak membuang hadiah yang tidak disukainya?

Jawabannya sederhana: Donghae tidak punya alasan untuk membuangnya.

Donghae mengambil sebuah benda lagi. Itu adalah kotak musik berbentuk piano berwarna hitam. Mungkin inilah hadiah paling waras yang pernah Chan berikan pada Donghae. Ia menyalakanya, dan alunan Für Elise milik Beethoven menggema memenuhi seluruh ruangan. Ini adalah lagu piano pertama yang Donghae ajarkan pada gadis itu. Dan lagu yang paling bisa Yoo Seung Chan mainkan dengan piano. Ia memejamkan mata. Di pikirannya, seakan diputar ulang, ia melihat dirinya sendiri dan Chan duduk berdampingan di depan piano, mengajari sang sahabat memainkan lagu itu.

Donghae suka piano. Chan suka gitar. Mereka berdua punya kesamaan minat di bidang musik. Donghae menyukai cara Chan bermain gitar, sama halnya Chan terbuai bila Donghae menekan tuts piano membentuk serangkaian nada indah.

Begitu lagu berakhir, Donghae membuka mata dan kembali meletakkan kotak musik itu. Tanpa sengaja, ia menyenggol sebuah bingkai foto. Nyaris saja bingkai itu jatuh jika Donghae tidak menahannya. Ia terdiam cukup lama menatap dirinya dan Chan di sana. Mereka berpose konyol di depan kamera, jangan tanya betapa jeleknya gaya mereka di foto itu. Ia mengusap lembut wajah gadis itu di foto seakan tengah mengusap wajah Chan sungguhan.

Memang, penyesalan selalu datang terlambat..

Bagaimanapun juga, ia harus memikirkan cara untuk meminta maaf.

Dan betapa bersyukurnya dia, saat cara itu ia dapatkan keesokan harinya.

☆☆☆

“I fake a smile so he won’t see..”

Permainan gitar gadis bermarga Yoo itu berakhir. Ia menyeka air matanya dan menghembuskan napas kasar. Ia menyimpan kembali laptop-nya. Kemudian gadis itu beranjak dari tempatnya duduk, meletakkan gitar di stand. Ia memandang nanar meja belajarnya. Ia mengulurkan tangan, menurunkan sebuah foto berbingkai, menutupnya, lalu beranjak ke tempat tidurnya.

Matahari sudah tinggi di langit. Cahayanya menembus kaca jendela dan celah tirai, membentuk biasan cahaya. Ia menarik selimut menutupi wajahnya, meringkuk, dan melanjutkan tidurnya.

Tiba-tiba, ia mendengar suara gaduh di tangga. Lalu suara pintu terbuka, dan suara seorang wanita.

“YOO SEUNG CHAN!” teriaknya.

Pada saat itulah, kesadaran Chan terkumpul semua. “HYOSUNG-AH!” pekiknya tak kalah kencang. Ia melompat dan menerjang gadis itu.

My God, dia baru menyadari kalau ini aku..” gerutu Hyosung saat Chan memeluknya. Mau tidak mau ia membalas pelukan itu.

“Dimana Minjung dan Byul?” tanya Chan setelah melepas pelukan itu. “Kau mengajak mereka juga kan?”

“Mereka berdua punya kelas di hari Sabtu. Bukankah itu menyedihkan?”

Chan terkekeh. “Tapi mereka tahu kan Sungmin datang?”

“Tentu.”

“Sekarang dimana dia?”

“Di lantai bawah.”

Tepat ketika Chan hendak berlari menuruni tangga, Hyosung menahan tangan gadis itu.

“Tidak, Chan! Sebaiknya kau mandi dan bersiap! Kau tahu? Aku tidak pernah sesenang ini saat melihat Sungmin ada di sini.” Hyosung mendorong gadis itu masuk ke kamar mandi.

☆☆☆

Cha Hyo Sung keluar dari kamar Chan, menuju ruang makan, tempat semua orang sudah menunggu di sana.

“Apa yang dilakukannya sekarang?” tanya nenek Chan sembari memasak. Wangi tumisan bawang merah, bawang putih, dan cabai memenuhi udara.

“Aku sudah memaksanya mandi, Nek. Tenang saja..” jawab Hyosung duduk di kursinya.

“Anak itu..” gerutu nenek. “Aku tidak tahu apa yang terjadi jika dia sudah punya suami nanti. Kuharap suaminya adalah orang yang sabar..”

“Maksud nenek, pria di samping Sungmin?”

Yoo Seung Joon muncul dari halaman belakang sembari menenteng sepatunya. “Yah, sepertinya dia cukup sabar menghadapi adikku.” sambungnya.

Sungmin dan Hyosung menyeringai.

Orang itu mengerutkan bibir. “Siapa yang betah bersama gadis sepertinya?!”

“Oh benarkah?” sahut Sungmin melirik orang di sampingnya.

“Aku tidak mungkin menyukai gadis―”

Percakapan mereka terhenti ketika kakek Chan masuk ke dapur.

“Selamat pagi, Kek!” sapa mereka bertiga bersamaan.

“Oh, selamat pagi, anak-anak!” jawab pria itu tersenyum. Ia menuju rak di dekat wastafel, mencari-cari sesuatu. Ketika benda yang dicari tak ditemukan, ia berteriak. “Joon-ah, apa kau mengambil cangkir kopi kakek lagi?”

Joon yang sedang dalam perjalanan menuju lantai dua berhenti sejenak. “Tidak, Kek!” jawabnya. “Apa kakek memakai jaketku lagi?”

“Aku sudah mengembalikannya padamu kemarin.”

Mereka melihat Chan menuruni tangga. “Nenek!” panggilnya. “Di mana sepatuku?”

“Nenek, dimana kunci mobil?” Joon bertanya dari kamarnya.

“Di tempat biasa!” kedua pertanyaan itu dibalas sekaligus oleh nenek mereka.

Chan muncul dari halaman belakang, bersama sepatunya. “Yoo Seung Joon! Apa kau menyembunyikan kaus kakiku lagi?!”

“Tidak!” Joon memyembulkan kepala dari pintu kamarnya. “Ada yang lihat tas gitarku?”

“Kau meminjamkan itu padaku kemarin! Ambil di kamarku!”

“Chan-ah, kau tahu dimana cangkir kopi kakek?”

“Ada di kamar, Kek!”

Joon menuruni tangga. “Chan-ah, dimana syalku?”

“Ada satu di kamarku! Joon-ah, lihat topi rajutku?”

“Kau sudah memegangnya tadi!” sambung kakek kali ini. “Joon-ah, bisa kau ambil koran kakek?”

“Kau sudah mengambilnya!” balas nenek Chan dari dapur, mengacungkan koran yang ada di sampingnya. Ia membawa empat piring omurice ke meja makan, berbicara pada tiga orang itu. “Bayangkan setiap hari kami harus melewati pagi yang seperti ini!”

Ketiga orang itu yang sedari tadi menyaksikan keributan keluarga Yoo, hanya tersenyum. Mereka sudah terbiasa dengan hal ini, bahkan menikmatinya.

“Cepatlah, Chan!” panggil wanita itu. “Aku tidak mau kau mengamuk lagi karena nasimu dingin!”

“Aku datang!” gadis itu berlari menuruni tangga sembari mengenakan jaket dan melilitkan syal ke lehernya.

Dan betapa terkejutnya ia, ketika menyadari bahwa bukan hanya Sungmin dan Hyosung di sana.

☆☆☆

“Baiklah, kita akan kemana hari ini?”

Sungmin, si pengemudi, bertanya pada Chan, yang duduk di kursi penumpang di belakang. Kini mereka semua berada di mobil, dalam perjalanan mengunjungi beragam tempat wisata. Hyosung duduk di kursi penumpang depan, dan Donghae.. ia berada di samping Chan. Gadis itu memilih untuk memandang ke luar.

Selama sarapan tadi, baik Donghae maupun Chan tidak terlalu banyak bicara. Mereka hanya menanggapi hal-hal kecil seperti, “Begitulah.”, “Tidak juga.”, atau tertawa kecil. Tidak ada perbincangan panjang diantara mereka berdua. Namun hal itu tidak berpengaruh pada Hyosung dan Sungmin.

“Sungai Han?” usul Chan.

“Membosankan!” keluh Donghae.

“Aku ingin berbelanja, Chan.” sahut Hyosung.

Gadis itu mengangguk. “Baiklah, bagaimana kalau Dongdaemun?”

“Tidak sebagus Myeongdong!”

Chan menghela napas, lalu mengangguk lagi. Ia tidak mau lagi diperlakukan seperti ini, jadi ia membiarkan Donghae saja yang menentukan destinasi mereka.

“Kau kenapa?” Sungmin yang sedang menyetir menyadari perubahan sikap Chan.

“Tidak apa,” gadis itu mengangkat wajah. “Setelah dari Myeongdong kita akan ke mana?” lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

“Kita akan keliling kota dan menghabiskan waktu di Lotte World!” Hyosung menyela.

“Jadi?” Chan mengangkat alis. “Lotte World?”

Sungmin dan Hyosung mengangguk. Mau tidak mau Donghae menyetujui rencana itu.

☆☆☆

Hari ini mereka kedatangan sahabat mereka dari Jepang, Lee Sung Min. Sebenarnya laki-laki itu teman sekolah mereka. Hanya saat ini ia berkuliah di Jepang. Hyosung dan Byul berkuliah di Yonsei, sedangkan Chan, Kyuhyun, Minjung, Donghae dan Eunhyuk di Hannyang. Meski begitu, bila Sungmin berkunjung, mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu.

Walau saat ini bukan waktu yang tepat karena mereka berdelapan tidak sedang bersama.

Chan sangat lelah, tapi sangat bahagia. Ia senang bertemu kembali dengan Sungmin, tapi ia tidak bisa mengindahkan kekesalannya karena Donghae terus menjawabnya dengan ketus. Maka dari itu, hari ini ia tidak banyak bicara. Ia hanya bicara seperlunya, dan membiarkan Sungmin atau Hyosung yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.

Ketika waktu menunjukkan pukul tujuh, keempat orang itu tengah berada di Ice Ring Lotte World. Di sana Chan benar-benar melampiaskan emosinya. Ia ber-iceskating-ria seakan tidak akan bisa bermain selamanya. Setelah gitar, inilah spesialis kedua Yoo Seung Chan. Memang tidak sehebat para atlet, tapi setidaknya ia dapat menghindari orang-orang, berputar, dan meluncur mundur. Bahkan ketika lagu All About That Bass milik Meghan Trainor diperdengarkan, gadis itu menari abstrak tanpa malu.

“Pasti ada yang terjadi dengan gadis itu.” gumam Sumgmin mengamati Chan dari luar arena. Ia, Hyosung, dan Donghae sedang menikmati cappuccino hangat di sebuah kedai yang langsung berhadapan dengan ice ring. Jadi jelas saja mereka bisa melihat kegilaan gadis itu.

Hyosung tertawa, sementara Donghae hanya diam. Sungmin mengangkat kameranya, memotret Chan dari kejauhan.

Hyosung dan Sungmin berdiri. ” Donghae-ah, kau masih mau di sini?”

Laki-laki itu mengangguk.

“Baiklah, kami akan ke sana!” mereka melangkah dengan pelan menyusul Chan.

Di tempatnya duduk, Donghae memandangi mereka bertiga yang tengah tertawa bahagia di sana. Ah, lebih tepatnya ia hanya memandangi Chan. Hatinya menciut melihat keceriaan gadis itu. Rasanya ia ingin melukai dirinya sendiri saat mendengar tawa bahagia Chan yang dihantar udara dingin. Bahkan setelah apa yang Donghae lakukan, gadis itu masih bisa.. tersenyum?

Perasaan bersalah makin membuncah dalam dirinya. Bagaimana caranya meminta maaf pada gadis itu?

Baru saja ia akan memikirkan caranya, gadis itu lewat di dekatnya begitu saja. Kemudian Chan duduk di sampingnya, memegangi secangkir susu hangat. Ia tahu Chan tidak akan pernah memesan kopi. Gadis itu benci minuman berkafein.

Setelah menikmati minuman, Chan meletakkan gelas itu di meja. “Hei, kau tidak mau meluncur?” tanyanya.

Donghae tertegun. Selama perjalanan mereka tadi, ini untuk pertama kalinya Chan berbicara hanya kepadanya. Tidak ada nada mengancam, menyindir, atau marah di sana, hanya ajakan yang bersahabat. Donghae makin merasa bersalah pada gadis itu.

Ketika Chan hendak berdiri dan melangkah menuju arena meluncur, tangan laki-laki itu terulur menahan lengannya. Sentuhan itu singkat saja. Hanya sentuhan sekilas sebelum Donghae menurunkan tangannya kembali. Tetapi itu sudah cukup untuk membuat Chan berhenti melangkah dan berbalik menatap laki-laki itu.

“Maafkan aku..” ungkap Donghae.

Awalnya, Chan hanya diam. Ia duduk kembali. Ia terpaku pada tatapan Donghae, tidak berani mengalihkan pandangannya, seolah takut ia tidak akan mendapat tatapan itu lagi. Ia bisa mengartikan dengan jelas tatapan itu. Menyiratkan perasaan bersalah yang begitu dalam. Seakan Donghae tengah mengemis sebuah kata ‘maaf’ darinya.

Tapi minta maaf untuk apa?

Dan itulah yang diucapkan gadis itu setelahnya.

Laki-laki itu agak terhenyak. “Karena aku―”

“Keras kepala?” potong gadis itu. “Tidak mau mendengar orang lain? Egois?”

Donghae hanya melongo. Harus dia akui, itu semua benar.

“Aku tahu hal ini akan terjadi, jadi kau tidak perlu minta maaf padaku..” Chan tersenyum. Begitu tulus, begitu damai, sampai Donghae hanya diam memandangi senyuman itu.

“Ayo!” Chan berdiri. Ia menggenggam tangan laki-laki itu, menuntunnya memasuki arena. Ia berusaha untuk tidak merasakan getaran aneh pada dirinya. “Kau butuh aku untuk meluncur kan?”

Mau tidak mau, Donghae tersenyum.

“Bentuk kakimu seperti huruf V, dan bergeraklah secara bertahap. Kaki kanan, kemudian kaki kiri. Ini tidak jauh berbeda dengan rollerblade, kau pasti bisa!” tuntun Chan.

Kilatan blitz mengagetkan keduanya. Mereka bersamaan menoleh ke arah Sungmin, yang menurunkan kamera sambil menyeringai. Di sampingnya, Hyosung hanya tertawa.

Ya, Lee Sung Min!” teriak Chan. “Awas kalau kau―”

Ia hendak mengejar Sungmin, namun seseorang menahan tangannya. Chan berbalik, menatap Donghae yang menggenggam kuat tangannya.

“Jangan mengejarnya.” ucap laki-laki itu pelan. “Memangnya kenapa kalau Sungmin memotret kita berdua?”

Chan tidak tahu harus bicara apa.

Donghae meraih kedua tangan gadis itu. “Ajari aku,” pintanya. “Apa yang harus kulakukan setelah membentuk kakiku seperti huruf V?”

“Bergeraklah secara bertahap,” Chan masih merasa gugup karena genggaman tangan Donghae yang begitu kuat. “Kaki kanan.. kemudian kaki kiri..” ia mempraktekkan apa yang dikatakannya.

“Seperti ini?” Donghae mengikuti gerak kaki gadis itu. Chan mengangguk.

Meskipun Donghae sudah hampir bisa, Chan tetap menuntun sang sahabat. Jadi ia masih setia menggenggam tangan laki-laki itu, hingga ia kembali menegur Donghae.

“Donghae-ah?”

Donghae muncul dari balik bahu Chan, menoleh ke arahnya. Membuat gadis itu sedikit tersentak karena wajahnya cukup dekat dengan laki-laki itu. Yang kumaksud cukup dekat sebenarnya sangat, sangat sangat dekat.

“Kau tahu? Aku tidak pernah menganggapmu marah padaku. Atau menganggap kita sedang bertengkar. Bagiku, kau hanya sedang tidak membutuhkan aku saja.”

Ucapan itu sangat menampar Donghae.

“Sudahlah, jangan dibahas lagi..” lanjut Chan tersenyum.

Mereka meluncur berkeliling seluruh arena.

“Ngomong-ngomong..” gadis itu kembali bersuara “Ada kabar tentang mimpi basahmu?”

“Bukankah sudah kubilang itu bukan mimpi basah?!” Donghae meninju bahu belakang gadis itu. “Dan jangan bicara keras-keras! Bagaimana kalau orang-orang mendengar?!”

Chan tertawa riang. “Peduli apa aku dengan orang-orang?! Lagipula kau yang bicara keras-keras, bukan aku! Dasar bodoh!”

Donghae merengut. Gadis itu mengembalikan perkataannya.

“Kau punya bakat untuk menghancurkan suasana, kau tahu?” gumam Donghae sebal.

Gadis itu berhenti tertawa. “Maksudmu?” tanyanya bingung.

“Tidak apa!” Donghae mengangkat bahu. “Ayo!”

Dan detik berikutnya, mereka berdua mulai terlihat asyik sendiri. Donghae yang sesekali tersandung-sandung membuat Chan tertawa lepas. Atau terkadang gadis itu berputar-putar untuk membuat Donghae bertepuk tangan padanya. Mereka tidak peduli lagi pada Hyosung dan Sungmin ― apapun yang mereka lakukan. Chan memunggungi laki-laki itu, Donghae memegang kedua bahu Chan dan mereka berdua meluncur bersama, seperti kau sedang bermain kereta api dengan temanmu. Harus Chan akui, Donghae tidak terlalu buruk jika sudah diajari. Beberapa orang menatap mereka iri, dan Chan sangat tahu arti tatapan itu. Entah apa yang Donghae pikirkan tentang orang-orang, tetapi yang jelas Chan sangat menikmati tatapan itu.

Ini adalah hari yang sangat indah bagi seorang Yoo Seung Chan.

☆☆☆

Donghae tak tahu kenapa, tapi hari ini ia senang menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Meluncur bersama gadis itu di arena berdua. Melihat senyum cerah milik Chan membuatnya bahagia.

Ini aneh, pikir Donghae. Ini bukan pertama kalinya mereka berpegangan tangan, dan bukan pertama kalinya Chan tersenyum padanya. Namun setiap kali ia melihat gadis itu tersenyum, jantungnya berdebar lebih cepat. Memang tidak sampai lupa bernapas, tapi Donghae selalu tercenung melihat senyum itu.

Ia menatap tangannya yang digenggam gadis itu. Bukan kali ini seorang gadis memegang tangannya. Tetapi ia tidak pernah merasa senyaman ini ketika seorang gadis menggenggam kedua tangannya.

Tunggu..

Nyaman..

Tiba-tiba ia teringat sepenggal percakapan mereka.

b

“Kau punya bakat untuk menghancurkan suasana, kau tahu?”

“Maksudmu?”

“Tidak apa! Ayo!”

n

Ia kembali berpikir. Jadi itu suasana yang dimaksudnya tadi.. Nyaman adalah perasaan yang ingin dirasakannya setiap kali bersama gadisnya. Unfortunately, ia tidak pernah mendapatkannya.

Malah ia mendapat perasaan nyaman itu dari orang yang sudah mengenalnya selama lima tahun.

Bukan hanya genggaman tangan, senyuman, atau bahkan pelukan.

Melainkan karena memang ia selalu nyaman bila bersama Chan. Terlalu nyaman.

v

Hari sudah larut ketika Donghae, Hyosung, dan Chan mengantar Sungmin ke bandara ― ia langsung pulang malam ini juga ― setelah itu Donghae mengantar Hyosung dan Chan pulang. Laki-laki itu beruntung karena ketika ia pulang,  ia tidak ketinggalan makan malam.

Donghae berjalan menuju wastafel di dapur sebelum menuju ruang makan untuk mencuci tangan. Ketika ia sudah membuka keran air dan hendak membasahi tangannya, ia berhenti. Ia menatap kedua tangan itu, dan sejurus kemudian, ia tersenyum kecil.

Agak cengeng memang, karena ketika ia melihat kedua tangannya, bayangan Yoo Seung Chan berputar-putar di benaknya. Ia tidak seperti ini saat gadis-gadis lain memperlakukan dirinya. Sungguh!

Ia mematikan keran air, dan menuju ruang makan. Sang adik dan bibinya sudah berkumpul di sini.

“Donghae-ah, kau sudah cuci tanganmu?”

“Sudah.” jawabnya mulai menikmati makan malam.

Dengan tangan Yoo maksudku..

Bahkan bayangan Chan tersenyum dan menggenggam tangannya di ice ring tadi terbawa sampai di mimpinya.

☆☆☆

“Aku hanya mau menghabiskan waktu dengan adikku, apa tidak boleh?”

“Yah, baiklah.. Mengingat kita jarang menghabiskan waktu berdua..”

“Anggap saja itu hadiahku untukmu!” Joon mengacungkan lengan kirinya. “Aku sangat suka hadiahmu! Berapa lama kau menabung untuk ini?”

Kedua anak kembar itu kini tengah berjalan bersama dari tempat parkir menuju kelas. Namun Joon memutuskan untuk mengekor kembarannya.

Hari ini adalah ulang tahun Chan dan Joon. Tadi pagi, sang nenek membuatkan kue Black Forest hanya untuk mereka. Sang kakek bermain piano, Joon bermain gitar, dan berduet menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun dengan sedikit aransemen―dasar keluarga musisi. Chan menghadiahkan Joon sebuah jam tangan mahal yang langsung dipakai saat itu juga. Dan sekarang, Joon dan Chan akan mengikuti satu mata kuliah dan berjalan-jalan bersama.

“Ah, akhirnya!” seru Joon keluar kelas. Chan berdiri sembari menyandarkan satu bahunya di dinding. Mereka berjalan menuju tempat parkir. “Aneh, biasanya aku akan merasa kehilangan setelah mengikuti pelajaran profesor Park.”

Gadis itu tertawa. “Aku tidak tahu kau benar-benar menyukai wanita itu. Kukira selama ini kau hanya becanda.”

“Dan deretan pria lainnya.” Joon menunjuk dosen itu yang sedang berjalan di sepanjang koridor. Beberapa mahasiswa melirik ke arahnya.

Chan mengikuti arah jari Joon, namun bukan melihat si dosen. Melainkan sepasang kekasih.

“Joon-ah..” gumam Chan.

“Ya?”

“Itu Donghae kan?”

Dan Joon melihatnya. “Itu Jihyun kan?”

“Sepertinya kita tidak salah.”

Chan terdiam. Di pandangannya saat ini, ia melihat Lee Dong Hae tengah bersama Son Ji Hyun, duduk bersama di bangku dekat tempat parkir. Donghae merangkul bahu gadis itu, dan Jihyun sedang mengatakan sesuatu yang membuat Donghae tertawa.

Melihat laki-laki itu tertawa bersama Jihyun, rasanya Chan ingin meninju wajah gadis itu sekarang juga.

Chan mendesah pelan. “Ayo!”

Kedua anak kembar itu berjalan melewati mereka berdua.

“Hai, Yoo!” tegur Donghae. Mereka berbalik menatap laki-laki itu.

“Pacar baru?” kata keduanya bersamaan.

Donghae tersenyum lebar. Jihyun bergelayut manja di pelukan laki-laki itu. “Kalian mau ke mana?”

“Hanya jalan-jalan.”

“Tumben kalian mau berjalan-jalan bersama.” cibir Donghae.

Kau tidak tahu hari ini hari apa?”

“Selasa.” Jawab Donghae polos. Chan melirik Joon.

Joon sangat mengerti tatapan itu, jadi ia merangkul kembarannya. “Kami pergi dulu!”

Mereka segera masuk ke mobil, dan menuju destinasi pertama mereka. Restoran Jepang.

“Chan-ah?” ujar Joon melahap sepotong sushi.

“Ng?”

“Aku jadi kasihan padamu..”

Kening Chan berkerut samar. “Kenapa?”

“Kau menyukai Donghae..”

“Aku tidak menyukainya!” Chan mengelak.

“.. dan dia selalu bergonta-ganti pasangan..”

Chan diam.

“Apa kau tidak terluka?”

Gadis itu melahap sepotong sashimi.

Joon meneguk air. “Dan bagaimana jika seandainya dia menyatakan perasaannya padamu?”

b

To Be Continued

 v

Well, ini emang receh bet

Maaf ya kalo ini ngecewain banget

Jadi aku menyempatkan diri untuk ngaplot cerita ga jelas ini di tengah-tengah liburanku hehe. Dan untuk part 4 sama 5 nya di-post agak lama karena minggu depan aku masih melanjutkan liburan hehehe

Jadi bagi yang menantikan cerita ga jelas ini ditunggu aja yaa

8 thoughts on “Untouchable 3

  1. aish emang dasar cowok playboy gitu, baru aja putus udah ada yg baru lagi, eh tapi sejak kapan aja si donghae pacaran sm jihyun 😡 apa dia nggak bisa ngerasaain persaain chan ke dia, padahal chan udah baik sm perhatian ke donghae, lama² donghae ngeselin ya 😡😡

    Liked by 1 person

    1. HAHA tabok aja si Donghae 😂😂 disini aku emang ga bilang sejak kapan dia udah punya pacar baru lagi, tau2 udah dapet aja 😂😂 Donghae mah gapeka 😐

      Liked by 1 person

Leave a comment