All Around Us 4

all-around-us

PosterBySifxo@ArtFantasy1

#4 : Something means everything

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | …

***

PINTU kamar itu terbuka. Menampakkan Lee Dong Hae yang mengenakan kaus dan celana pendek yang nyaman. Rambutnya kusut dan wajahnya mengantuk. Ia lantas menuju kamar mandi.

Sejak pulang dari makam kemarin, ia memutuskan untuk menuju apartemen pribadinya. Begitu ia tiba disini, ia langsung mendatangi ruangan Joohae.

Yah, ruangan tempat barang-barang Joohae disimpan, maksudku.

Ruangan ini cukup besar. Isinya tiga buah lemari tiga pintu yang merapat ke dinding, enam rak buku yang diletakkan berjejer, dua buah meja, dan satu kursi berlengan empuk. Di seluruh dindingnya terpajang banyak sekali foto-foto berbingkai.

Ia mengurung diri di sana, menyusuri jemarinya di judul-judul novel koleksi Joohae, memandangi dengan senyum haru wajah riang gadis itu di foto.

Ia jadi ingat. Setelah membeli apartemen ini, ia langsung menghubungi gadis itu. Saat itu, ia menelepon Joohae beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Dan ketika ia datang ke dorm, ia malah melihat gadis itu sedang berkutat dengan laptop bersama Eunhyuk, Yesung, dan Siwon.

☆☆☆

“Hei lihat!” Yesung berseru. “Penonton videomu yang sedang bersama kami menyentuh tiga juta!”

Joohae mengangkat bahu dengan lagak sombong yang menyebalkan. “Pasti sebagian besar penonton videoku adalah penggemar kalian. Kalau oppa mau tahu, penonton videoku biasanya lebih banyak dari itu. Misalnya saat aku mewawancarai perdana menteri Inggris. Lihat berapa jumlah penontonnya.”

Siwon menunjuk video yang berbeda. “Tapi videomu yang berjudul Percayalah, Aku Menyanyikan City of Stars dengan Ukulele ini hanya dilihat delapan ratus ribu kali. Apa yang kau lakukan? Apa kau benar-benar bernyanyi dan bermain ukulele?”

Joohae meletakkan satu tangan di depan dada, menatap laki-laki itu dengan ekspresi terluka. “Well, aku kadang bernyanyi di videoku, dan pengantarnya adalah ukulele atau gitar. Dan jika pertanyaan oppa selanjutnya adalah kenapa aku tidak menjadi artis seperti Donghae oppa, itu karena aku tidak terlalu suka kehidupanku diusik.”

Sepertinya empat orang itu tidak menyadari kehadiran Donghae.

“Tapi kau seroang video blogger.” Eunhyuk menyahut. “Secara langsung kau ingin terkenal.”

“Dengan kemunculanku sebagai adik Donghae Super Junior sudah membuat masalah?” Joohae tertawa mengejek. “Aku punya cara yang lebih berkelas untuk terkenal, dan itu bukan menggunakan embel-embel adik Donghae Super Junior. Dan jika aku punya penggemar, setidaknya aku tidak punya sasaeng fans yang memiliki kunci duplikat apartemenku, atau yang meletakkan pakaian dalam mereka di lemari bajuku, atau menerorku.”

Joohae mendapat tiga jitakan di kepala.

“Lagipula aku tidak merasa aku memiliki penggemar.” Gadis itu melanjutkan. “Tujuanku menjadi seorang video blo ― sorry, I prefer call myself as a cinematographer ― adalah untuk melatih kemampuan sinematografiku dan berbagi pengalaman.”

Siwon melihat Joohae seperti gadis itu baru saja mendapatkan penghargaan.

“Apa?” Joohae bertanya heran. “Oppa baik-baik saja?”

“Aku tidak pernah tahu kalau aksen Inggrismu sebagus itu.” kata Siwon.

Yesung menunjuk sebuah video. “Maka kau harus melihat video berjudul Dengar Aku Bicara Hal Berguna. Aku sudah menontonnya.”

Joohae mengabaikannya, kembali melihat Eunhyuk. “Dan kalau oppa menonton videoku, oppa akan memperhatikan sebagian besar videoku berisi aku yang memberikan tips-tips berguna, satu sesi video dengan aku berbicara full bahasa selain Korea ― well, aku kadang mengajar ― mendokumentasikan kunjungan-kunjungan berhargaku, dan kehidupan kuliahku. Kalau ada video tidak berguna yang aku unggah, itu pasti saat aku meng-cover lagu dan saat aku bersama kalian.”

Joohae mendapat tiga jitakan lagi.

“Joohae-ah.” Donghae menyapa. “Kau tidak bekerja?”

Gadis itu mendongkak dan membelalak sebentar. “Aku baru pulang dari perjalanan bisnisku pagi ini.” jelasnya. “Maaf tidak sempat mengabari oppa. Aku langsung diculik mereka.”

Laki-laki itu tersenyum maklum. “Kau tidak istirahat?”

“Aku sudah tidur di pesawat.” Joohae kembali menatap laptop. “Lagipula Hongkong – Incheon tidak sejauh itu.”

“Kau membaca pesanku?”

“Tentang apartemen oppa yang baru?” gadis itu kembali menatap kakaknya. Tiga orang itu tidak terlalu terkejut dengan kabar ini, tapi mereka menyimak percakapan.

Donghae mengangguk. “Kau mau tinggal disana?”

Joohae tersenyum, menggeleng. “Aku tidak mau pindah. Aku sudah terlanjur nyaman dengan apartemenku yang sekarang. Lagipula, stasiun kereta bawah tanah lebih dekat dari Star City daripada tempat oppa. Dan kalau aku tinggal di sana, aku tidak akan punya tempat pengungsian seperti dorm ini.”

Kali ini Joohae tidak hanya mendapat jitakan dari Eunhyuk, Yesung, dan Siwon. Tapi dari Sungmin, Ryeowook, dan Kangin yang kebetulan melewati mereka.

Joohae mengusap kepalanya. “Tapi aku tetap punya kuncinya kan? Mungkin aku akan berkunjung ke sana kalau aku ingin.”

☆☆☆

Donghae melewati pintu ruang barang-barang gadis itu, memandang sekilas gantungan kuncinya yang terdapat kartu seukuran ATM yang merupakan kunci apartemen ini. Ia sudah siap saat keluar dari kamar mandi. Pagi ini mereka harus menghadiri pemotretan untuk teaser album baru. Jadi hari ini dan beberapa hari ke depan Super Junior akan sibuk.

Ia menuju dapur, menuangkan air ke gelas, dan minum. Setelah itu, ia membuka kulkas untuk mengambil sekotak susu dan sereal. Ia mengambil mangkuk dan sendok di lemari, lalu ke meja tinggi. Ia mulai menikmati sarapannya.

“Donghae-ah?”

Laki-laki itu tersentak. Pintu apartemen terbuka. Eunhyuk yang berkunjung.

“Leeteuk hyung memintaku menjemputmu.”

Laki-laki itu tidak berkomentar.

Eunhyuk mengambil tempat di samping Donghae. “Kau tahu kan kita punya jadwal yang padat dan sibuk untuk beberapa hari ke depan?”

Donghae mengangguk.

“Lalu kenapa kau hanya sarapan dengan sereal?”

“Hanya sedang ingin.” kata Donghae. “Memangnya kenapa?”

“Manajer hyung akan mengajak kita sarapan di SM.”

“Oh.”

Kening Eunhyuk berkerut. “Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”

Donghae menyuapi sesendok sereal, dan menggeleng.

“Kau tampak aneh.”

“Begitukah?”

“Pasti kemarin kau ke Seodaemun.”

Donghae memandang temannya. Semua orang tahu hanya satu hal yang dilakukan di Seodaemun: mengunjungi Joohae.

Tapi tidak bagi Donghae. Setidaknya setelah ia tahu tentang kafe itu.

“Apa ada yang terjadi?” Eunhyuk bertanya, melihat Donghae hanya diam. “Apa ada yang melihatmu di makam? Apa ada yang menyinggung Joohae lagi? Ada yang menyebar gosip tentangnya lagi?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan gadis itu.”

“Lalu?”

“Apa ada banyak yang mulai melupakan aku?”

Eunhyuk mengangkat alis. “Apa?”

Donghae menghela napas. “Ada satu kafe di Seodaemun yang letaknya cukup dekat dengan makam Joohae. Sudah dua kali aku ke sana, tapi baru kemarin aku melihat dengan jelas gadis itu. Dan dia tidak mengenalku. Apa aku memang sudah tidak dikenal lagi?”

“Gadis siapa?”

“Gadis pemilik kafe.”

“Kafe dimana?”

“Seodaemun. Aku sudah bilang tadi.”

“Ah, ya.” Eunhyuk tersenyum lebar. “Dan dia bilang dia tidak mengenalmu?”

“Dia tampak familiar, kau tahu?” Donghae bergumam. “Dia mengingatkan aku akan seseorang. Wajahnya mirip..”

“Joohae?”

“Bukan.” Donghae menggeleng. Ia mengurungkan niat saat ingin menyebut satu nama yang terlintas di otaknya. “Memangnya kau punya teman gadis lain yang seperti Joohae?”

“Tidak, tentu saja. Dia satu-satunya.” Eunhyuk mengangguk. “Lalu siapa? Apa temanmu dari Mokpo?”

“Hanya Minjung temanku dari Mokpo. Dan aku yakin kau tahu.”

“Lalu?”                                                                                                                    

“Entahlah..” Donghae menghabiskan sisa sarapannya. “Mungkin hanya perasaanku saja. Aku seperti mengenalnya di suatu tempat, tapi.. sudahlah. Itu tidak penting.”

Ia kembali ke kamar dan mengambil barang-barangnya. Ia dan Eunhyuk keluar apartemen.

“Kusarankan kau jangan terlalu memikirkan hal ini.” saran Eunhyuk. “Ada banyak gadis yang selalu kau temui setiap hari, dan mungkin dia salah satunya. Sudahlah. Bukan masalah kan kalau kau tidak memikirkannya sejenak?”

Donghae mengangguk. Ia tidak lagi banyak bicara. Bagaimana Eunhyuk bisa mengatakan hal itu dengan mudah? Bagaimana ia bisa melupakan gadis itu jika setiap kali mengunjungi Joohae ia pasti langsung menuju kafe itu tanpa berpikir? Seolah itu seharusnya sudah dilakukannya?

Apa yang terjadi?

Pada saat itu, ponsel Donghae berbunyi.

“Halo?”

Sunyi sesaat.

“Eunhee?”

☆☆☆

“Bagaimana penampilan ku?”

Yeonji merapikan rambut mereka dengan gugup, Bona mengepal-ngepalkan tangan beberapa kali, sambil berjalan mondar mandir. Chan memegang dua kertas yang merupakan nomor urut audisi mereka.

Tiga orang itu sudah berada di gedung YG. Ada banyak sekali orang yang ikut audisi ini. Bagaimana tidak? YG adalah salah satu dari tiga agensi besar Korea yang telah sukses melahirkan artis-artis ternama dan aktor-aktor terkenal. Jadi tidak heran semua orang ingin menjadi bagian dari agensi ini. Para peserta memiliki usia yang cukup beragam, sebagian besar anak-anak usia sekolah. Mereka terlihat sama gugupnya dengan Yeonji dan Bona, bahkan ada yang tengah menangis takut di pelukan orangtua mereka.

Jujur saja, itu cukup membuat Chan bertanya-tanya. Setahu dirinya, umur para peserta audisi berkisar antara sebelas sampai dua puluh tiga tahun. Apa Yeonji dan Bona akan diterima dari segi.. usia?

“Kalian sangat sempurna.” Chan menyemangati. Sebenarnya ia tengah menghibur dirinya saat ini. Sejak kejadian itu, ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan hal ini apalagi sampai datang dengan sendirinya ke sini. Entahlah. Ia juga bingung. Kakek dan neneknya tidak mau lagi ia menjadi produser suatu agensi. Ia masih penasaran dengan orangtuanya. Tapi dari hati Chan yang paling dalam, mimpi itu masih ada. Meskipun ia belum siap.

Semoga ia tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya.

“Giliran kami masih lama kan?”

Chan mengamati dua nomor audisi di tangannya. “Hanya tinggal beberapa orang lagi.”

Ketiganya memperhatikan wajah-wajah yang baru keluar dari ruang audisi. Ada yang tampak senang sekali, sangat puas, ada juga yang memasang wajah datar seakan dia baru saja menyelesaikan hukuman, ada yang takut, bahkan menangis tersedu-sedu.

“Aku sangat bersemangat.” gumam Yeonji. “Entah kenapa aku merasa kami akan sukses dengan lagumu.”

“Semoga saja.” Chan tersenyum. Ia sangat was-was. Bagaimana jika para juri mengenalinya?

Well, ini memang bukan agensi tempatnya dulu, tapi.. ia memiliki banyak kenalan disini.

Lalu tiba-tiba terdengar pengumuman yang menyatakan bahwa sepuluh nomor peserta setelah yang baru saja dipanggil diharapkan untuk masuk ke ruang audisi.

Chan langusng dicegat saat ia ingin masuk.

“Maaf.” kata orang itu sopan. “Hanya peserta audisi yang boleh masuk. Pengantar harus berada di luar.”

“Oh, baiklah.” Chan membungkuk meminta maaf. Ia berpamitan pada kedua temannya. “Aku akan menunggu disini.”

“Jangan pulang dulu, eoh?”

Chan tersenyum. “Aku tidak akan meninggalkan kalian.” ujarnya. “Semoga sukses! Aku mendoakan kalian!”

Dan keduanya lenyap setelah pintu ruang audisi tertutup.

Chan menjauh dari ruang audisi dan kerumunan peserta, memutuskan untuk mampir di kafetaria pertama yang tadi ia temukan saat pertama kali masuk gedung YG. Ia memesan kopi, dan mencari tempat yang kosong. Ia menikmati kopi itu dalam diam.

Selama ia berada di gedung ini, ia belum melihat satu artis, aktor, atau aktris manapun, setidaknya saat ia baru masuk dan duduk di sini. Bukan pemandangan yang aneh sebenarnya. Mereka sibuk. Tidak seperti dirinya. Pengangguran.

Ia tersenyum miris. Ia ingin sekali hidup sesuai ritmenya. Tapi bahkan sejak awal ia berada di dunia ia sudah punya masalah. Ia tidak pernah mengenal kedua orangtuanya dan keduanya sama sekali tidak pernah mencari dirinya dan Joon. Semakin beranjak dewasa, masalah yang ia hadapi semakin runyam. Satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi tempat Chan bersandar hanya Yoo Seung Joon.

Ia teringat kembarannya itu. Ia tahu Joon sangat berbakat di bidang seni. Joon pernah menjadi seorang trainee di salah satu agensi, tapi mengundurkan diri karena alasan yang sama dengan Chan yang tidak menjadi produser tetap suatu agensi. Keduanya menderita, tapi berusaha untuk tidak menunjukkannya di depan kakek dan neneknya.

Ia tidak tahu sudah berapa lama ia duduk diam sambil memegang cangkir kopinya sampai ia merasa seseorang menepuk-nepuk bahunya.

Chan berbalik, dan seketika berubah menjadi patung.

“Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini.” ucap orang itu terdengar senang. Senyum ramah sarat akan rindu tersungging di wajahnya.

Gadis itu mengerjap, masih sangat kaget dan sangat terkejut.

☆☆☆

“Joo-ya, aku pergi, eoh?”

Kim Eun Hee meletakan bunga matahari di makam sahabatnya, mengusapnya sekilas sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana. Ia mengusap air matanya yang jatuh. Ia melangkah perlahan menuju gerbang makam. Seseorang telah menunggunya di sana.

“Aku sudah selesai, eonni.”

Hwang Min Jung berbalik, mendapati Eunhee yang berdiri diam dengan tangan terkepal di depan tubuhnya. Gadis itu mengenakan blazer coklat, celana karet hitam, dan tas tangan kecil. Rambut sebahu hitamnya dihiasi dengan sebuah jepit. Gadis ini memiliki lesung pipi.

Minjung tersenyum. “Kau ingin langsung pulang ke ke rumahmu dan menemui Donghae di sana?”

Eunhee menggeleng. “Tadi pagi aku menelepon Donghae oppa, tapi dia bilang dia sedang ada pemotretan. Karena itu aku meminta eonni menemaniku ke makam Joohae. Jadi tidak ada salahnya aku mengobrol dengan eonni dulu, sambil menunggu Donghae oppa.”

“Kau mau mampir ke suatu tempat?” Minjung bertanya. “Aku tahu kafe yang enak di dekat sini.”

“Baiklah.”

Kim Eun Hee adalah teman Joohae yang tinggal di Jerman. Mereka tidak berteman lama, hanya dua tahun enam bulan, karena setelah Joohae menyelesaikan magisternya, gadis itu kembali ke Korea sedangkan Eunhee menjadi apoteker dan ditempatkan di Hamburg. Ketika mendengar Joohae meninggal enam bulan lalu, Eunhee memutuskan untuk kembali ke Korea setelah mengurus beberapa hal, dan baru bisa pindah sekarang ini. Lagipula, ia orang Korea dan ibunya tinggal di sini.

Dan mereka menuju sebuah kafe yang berada di perempatan tidak jauh dari Universitas Wanita Ewha.

Minjung masuk ke dalam kafe lebih dulu, yang disambut dentingan lembut lonceng di pintu. Kafe ini sepi. Ia tidak terkejut dengan fakta itu.

Seorang nenek-nenek menyambut mereka. Ia membungkuk memberi sapa. “Selamat da―” ia tiba-tiba berhenti ketika melihat siapa pelanggan mereka.

Senyum Minjung melebar. “Jangan menganggapku pelanggan seperti kebanyakan orang, Nenek.”

Nenek itu melebarkan matanya. “Astaga, kau rupanya!” serunya gembira. Minjung menghampirinya dan keduanya berpelukan.

“Sudah lama sekali kau tidak datang ke sini..” si nenek menuju meja bar. “Apa kau sibuk sekali?”

Minjung menunjuk Eunhee. “Ini teman adik temanku. Dia baru tiba dari Jerman.”

“Jerman? Luar negeri?” si nenek berkata takjub.

Eunhee membungkuk hormat dan sopan, lalu mengangguk.

“Dimana Joon?”

“Mencari kerja, seperti biasa.” jawab neneknya membuat pesanan. “Dan kalau kau menanyakan Chan, kau sudah tahu jawabannya.”

Minjung tertawa.

“Dan kau, nona?” si nenek menegur Eunhee. “Aku sudah tahu Minjung akan memesan green tea latte hangat, bagaimana denganmu?”

“Americano, juseyo.” Eunhee berkata.

“Baiklah, Nek. Kami harus duduk.”

“Oh, silahkan, silahkan. Maaf kami tidak punya pelayan lain.”

Minjung mengajak Eunhee ke meja yang dekat dengan pintu. Eunhee meletakkan tas tangan di kursi kosong di sampingnya, sementara Minjung duduk di hadapannya.

Eonni kenal pemilik kafe ini?”

“Tidak juga.” Minjung mengangkat bahu. “Karena sering mengunjungi Joohae aku jadi tahu tempat ini. Kafe ini sepi sekali. Aku saja tidak akan sadar kalau tidak ada seseorang berkunjung kemari. Saking sepinya, mereka sampai tidak memiliki pelayan dan barista khusus. Aku kasihan karena pemilik kafe ini sudah tua.”

Eunhee mengangguk-angguk. Si nenek mengantarkan pesanan mereka.

“Terima kasih, Nek.” ucap keduanya bersamaan.

Si nenek kembali ke meja kasir.

“Jadi?” Minjung menyesap minumannya. “Kenapa kau mau menemui Donghae?”

“Aku mau memberikan beberapa barang Joohae yang masih berada di flat kami.” jelas Eunhee. “Aku memang tidak membawanya, tapi semua itu ada di rumahku.”

“Apa barangnya sangat banyak?”

“Tidak juga.” Eunhee mengaduk-aduk minumannya. “Mungkin dia pikir dia akan kembali ke München, jadi dia tidak perlu mengemasi semua barang-barangnya.”

Minjung tersenyum sendu. “Lagipula sekarang kau tinggal di sini.”

“Aku tidak bisa lagi meninggalkan ibu sendirian.” jelas gadis itu. “Ibu memang pemberani, aktif, dan tangkas. Tapi bagaimanapun, ibu sudah tua. Dan juga..” ia terdiam sejenak. Nada suaranya berubah pelan. “Flatku sepi tanpa kehadiran Joohae..”

Minjung menyesap minumannya. Ia tidak heran. Adik sahabatnya itu meninggalkan kesan berarti yang berbeda di setiap orang yang mengenalnya. Karena itulah Joohae memiliki banyak teman. Dan makamnya selalu dipenuhi bunga segar.

“Seharusnya aku langsung kembali ke Korea saat mendengarnya pergi..” lirih Eunhee. “Tapi ternyata ada banyak sekali yang harus kuurus.. aku sangat menyesal.. dia sudah meninggal enam bulan lalu dan aku baru mengunjunginya..”

“Dia pasti mengerti..” Minjung menepuk-nepuk tangan Eunhee dengan tangannya. “Percayalah..”

Mereka terdiam.

Eonni..”

“Hm?”

“Apa mereka masih suka membicarakan Joohae?” tanya Eunhee hati-hati. “Maksudku..”

“Aku tahu.” Minjung tersenyum penuh arti. “Donghae sudah cukup pusing dengan semua itu. Sebenarnya mereka hanya ingin tahu Joohae sakit apa, tapi Donghae tidak mau bilang.”

“Kenapa Donghae oppa menyembunyikan hal itu?”

“Dia hanya merasa penyakit Joohae dan bagaimana perjuangan gadis itu untuk melawannya bukan sesuatu yang pantas diketahui publik..” Minjung berkata pelan. Ia menyesap kopinya. “Donghae terus saja mengatakan pada mereka bahwa Joohae meninggal karena sakit, dan karena tidak mau mengatakan apa persisnya penyakit Joohae, karena itu mereka kembali menyinggung bahwa sebenarnya Joohae bukan adik Donghae.”

“Mereka kembali mengungkit gosip itu?”

Minjung menyeringai. “Joohae pasti sudah menceritakan semuanya padamu.”

Keduanya kembali terdiam cukup lama.

☆☆☆

Chan tersenyum lebar ketika melihat Yeonji dan Bona melangkah dengan senyum lebar dan percaya diri ke arahnya. Ia menunggu keduanya di luar gedung, langsung pergi dari kafetaria saat bertemu orang tadi.

Dasar bodoh! Tentu saja dia pasti dikenali disini! Kenapa ia tidak.. menyamar? Ia memang bukan artis terkenal, tapi ia cukup dikenal oleh orang-orang yang berada di bidang yang sama dengan dirinya. Sudah cukup orang tadi yang menegurnya, ia tidak mau Yeonji dan Bona mendapatinya sedang bicara dengan orang tadi.

“Bagaimana?”

“Luar biasa!” pekik Bona senang. “Kami hanya tinggal menunggu pemberitahuan siapa saja yang lolos audisi! Tapi aku yakin sekali aku dan Yeonji akan menjadi trainee di sini.”

Ketiganya meninggalkan gedung YG.

Ya.” Chan memasukkan tangan ke saku mantelnya. “Boleh aku menanyakan sesuatu?”

“Silahkan.”

“Berapa umur kalian?”

Yeonji dan Bona kaget.

Chan mengusap belakang lehernya. “Bukan begitu maksudku..” katanya hati-hati. “Kalian tahu ‘kan berapa kriteria umur peserta audisi YG? Apa mereka masih mau menerima orang-orang yang seumuran denganku?”

Chan benar-benar merasa ia sudah salah langkah, yang berarti ia akan kehilangan teman yang sudah membuatnya merasa nyaman. Tapi ia langsung mengubur gagasan bodoh itu saat dilihatnya keduanya tertawa.

“Kami baru berumur dua puluh tahun ini.”

Mata Chan melebar. “Sungguh?! Kukira.. kalian..”

“Kau pasti heran kenapa kami bisa diterima bekerja di kantor kita yang sekarang.” Yeonji tersenyum lebar. “Perusahaan itu milik ayahku dan ayah Bona. Ayah kami kakak beradik. Mereka menyuruh kami bekerja sambil mengikuti audisi.”

Chan mengerjap. “Itu berarti aku jauh lebih tua dari kalian?”

“Dan kami tidak memanggilmu eonni.

“Itu tidak masalah bagiku.” Chan mengayunkan tangannya. “Aku hanya tidak menyangka. Kukira kalian tidak akan lolos karena terlalu tua. Tapi syukurlah.”

Keduanya tertawa.

Mereka bertiga berpisah ketika sampai di halte, karena mereka berbeda jurusan saat naik bis. Chan menggumamkan selamat tinggal saat Yeonji dan Bona melambai padanya dari dalam bis. Gadis itu duduk, menunggu bisnya.

Bosan menunggu karena bis tujuan Seodaemun belum datang, ia mengamati sekeliling, menyadari bahwa sudah sangat lama ia tidak berada di kawasan Mapo. Meski harus ia akui, memang dulu lingkup kerjanya hanya seputar Gangnam, tapi tetap saja ia sering berkunjung ke sini. Ada beberapa orang yang ia kenal berada di tempat ini, dan salah satunya sudah ia temukan tadi.

Matanya menangkap sosok seorang wanita yang keluar dari sebuah butik mewah.  Wanita itu membawa sebuah kantong belanja dengan merk tempat ia keluar. Wanita itu masuk ke sebuah mobil yang terparkir di depan butik, ia meletakkan kantong belanjanya di kursi penumpang depan, dan saat ia hendak masuk ke sisi pengemudi, ia berhenti. Menatap balik Yoo Seung Chan dari kacamata hitamnya.

Chan merasa mengenali orang itu, tapi ia tidak ingat dimana. Ia masih menatap wanita itu.

Tapi pandangannya terhalang karena ada sebuah mobil mewah terparkir di depannya.

☆☆☆

“Sekarang kau dimana?”

“Masih di makam, oppa. Aku juga baru selesai. Tidak perlu buru-buru.”

“Baiklah, aku akan menjemputmu nanti.”

Sambungan telepon terputus. Donghae memasukkan ponsel ke dalam saku. Semua orang sudah berganti baju kembali. Pemotretan baru selesai sepuluh menit lalu dan mereka baru akan mulai berlatih lagi malam. Jadi Donghae sedikit punya waktu luang.

Tidak ada salahnya kan ia mengunjungi adiknya lagi?

Ia menuju basement  dan mulai menyetir menuju Seodaemun.

Eunhee bilang dia ingin mengembalikan barang-barang Joohae yang ternyata masih ada di flatnya. Sekarang ia mengerti mengapa Joohae hanya membawa sebuah koper dan ransel saat kepulangannya dulu ke Seoul. Pasti dia pikir dia akan kembali ke Jerman dan bersenang-senang dengan temannya. Gadis itu salah besar.

Donghae ingat saat ia membenahi apartemen Joohae sebelum nyonya Seo pindah ke sana. Ada banyak sekali buku, baju, barang-barang lucu, dan bingkai foto. Tadinya Donghae berniat menyumbangkan semua itu, tapi untuk alasan yang jauh lebih emosional, Donghae mengurungkan niatnya. Jadilah ruangan barang-barang Joohae di apartemen pribadi Donghae.

Kira-kira, apa yang akan Eunhee kembalikan padanya?

Ia berhenti mengira-ngira karena ketika ia melewati gedung YG ia melihat seseorang yang dikenalnya sedang bersama dua orang yang tidak ia kenal. Mereka menuju halte, tapi dua gadis tak dikenal itu masuk lebih dulu ke bus yang pertama sampai. Gadis yang ia kenal tetap berada di halte. Ia berhenti, memperhatikan. Gadis itu tidak kunjung naik bus.

Donghae berhenti di depannya.

Gadis itu menatapnya dingin bercampur heran ketika ia membuka kaca mobil.

“Masuklah.” ajak Donghae. “Aku searah denganmu.”

Chan mengernyit bingung. “Kau juga mau ke Seodaemun?”

“Mm-hm.” gumam laki-laki itu. “Cepatlah.”

Chan tidak beranjak dari tempat duduknya. Kelihatan sekali ia tidak ingin naik ke mobil itu.

“Kau tidak mau?”

Chan tidak menjawab.

“Ayolah, aku tidak akan berbuat macam-macam.”

Chan sekarang mulai ragu. Sebenarnya tidak ada salahnya ia menumpang. Sedari tadi belum ada bus jurusan Seodaemun yang lewat.

Gadis itu menghela napas, secara berdoa dalam hati semoga ia selamat. Ia akhirnya masuk ke mobil Donghae.

Laki-laki itu tersenyum senang. Mobil melaju lagi.

Selama berada di mobil, keduanya tidak ada yang bicara. Chan hanya diam memandangi jalan sementara Donghae melirik gadis itu takut-takut salah bicara. Ekspresi gadis itu sulit ditebak oleh Donghae. Ia jadi ingat pertemuan pertama mereka dan betapa kakunya mereka saat bicara.

Tapi untuk saat ini seseorang harus mencairkan gunung es.

“Jadi?” Donghae membuka suara. “Apa yang kau lakukan di gedung YG?”

Chan langsung menoleh. “Darimana kau tahu aku dari YG?” tanyanya curiga.

“Aku melihatmu keluar dari sana.” Donghae tersenyum. “Tolong jangan menganggap aku penguntit. Aku pria baik-baik.”

Entah kenapa Chan tertegun sesaat ketika melihat senyum itu. Ia ingin beralih, tapi ia tidak bisa, dan ia tidak tahu kenapa ia seperti ini. Seharusnya ia tidak menerima tawaran Donghae. Seharusnya ia tidak duduk di kursi penumpang mobil Donghae. Seharusnya ia tidak bicara dan menatap lama senyum Donghae.

Seharusnya ia menjauhi Donghae.

Tapi ia malah sedang menatap senyum menawan milik laki-laki itu.

“Oh.” Chan mengerjap. “Aku menemani temanku audisi di sana.”

“Bukan kau yang audisi?”

Chan menggeleng. “Aku tidak tertarik mengikuti audisi seperti itu.”

Terdengar ketus, tapi memang itu kenyataannya. Ia bisa menyanyi, bisa bermain alat musik, tapi ia tidak tertarik untuk mengikuti audisi seperti itu. Karena memang bukan itu bidangnya.

“Begitu.” Donghae mengangguk-angguk.

“Dan kau sendiri?”

Donghae menoleh tak percaya. Gadis itu bicara padanya! Ia kira hanya dirinya yang akan hidup di percakapan mereka, tapi sepertinya tidak. Ia sepertinya harus menyingkirkan persepsi bahwa gadis ini ingin menghindarinya.

Sepertinya Chan ingin berteman dengan Lee Dong Hae.

“Aku sudah bilang tadi. Aku mau ke Seodaemun.”

“Dan apa yang kau lakukan di Seodaemun?” Chan bertanya lagi. “Kau tidak mungkin hanya ingin ke kafeku kan?”

“Adikku tinggal di sana.” Donghae memutar setir sehingga mereka berbelok. “Aku mau mengunjunginya.”

“Oh.” Chan mengangguk-angguk.

“Apa sekarang kau mengenalku?”

Chan bingung. “Apa?”

“Apa kau mengenalku bukan sebagai pelangganmu?”

Chan diam. Karena pada saat itu, Donghae menggerakkan tangannya ke sebuah layar LED yang sedang menampilkan iklan yang dibintangi Super Junior.

Gadis itu menatap poster, lalu menatap Donghae. “Kau Donghae Super Junior.”

“Akhirnya.” Donghae berkata puas. “Kukira kau tidak akan mengenaliku, karena kau bilang kau tidak mengenalku saat aku bertanya padamu.”

“Kau terlihat agak.. berbeda.”

Donghae tertegun. Tentu saja! Saat itu ia benar-benar ingin pergi ke Joohae, sehingga ia hanya berpenampilan seadanya. Sekarang karena ia baru saja selesai pemotretan, dan tidak mengubah tatanan rambutnya, jadi mungkin Chan baru melihat aura artis padanya.

Tetapi benarkah? Bukannya ia jarang tampil tanpa make-up? Dan tidak ada perbedaan antara wajahnya saat mengenakan make-up dan tidak memakai make-up?

Donghae kembali mendapat kembali kesan bahwa Chan ingin segera pergi dari hadapannya.

“Aku suka lagu-lagu kalian.” Chan tulus memuji.

“Terima kasih.” Donghae melirik kaca spion. “Produser kami memang yang terbaik.”

Chan agak terkejut mendengar Donghae mengatakan itu.

“Kau tahu? Wajahmu mengingatkanku pada seseorang.”

Chan berubah menjadi patung. Tapi ia masih bisa berkata. “Aku memang terlihat mirip dengan beberapa orang.”

“Dimana kau bekerja?”

“Aku hanya seorang pegawai biasa di perusahaan biasa.”

“Kalau seseorang yang aku kenal itu, dia seorang produser.”

Chan mengamati jalan lagi, memutuskan ia hanya akan mendengar laki-laki ini bicara.

“Tapi aku sudah tidak pernah melihatnya lagi.”

Chan melirik Donghae sekilas.

“Namanya Carmen. Dia dulu produser di SM.”

Chan mati-matian berusaha menetralkan ekpresi wajahnya. Tapi sepertinya gagal karena Donghae sudah bicara lagi. “Kau mengenal Carmen?”

“Tidak.” jawab Chan cepat. Terlalu cepat. Dia langsung menambahkan. “Maksudku.. tidak. Aku tidak mengenal orang bernama Carmen.”

“Dia memang tidak terkenal di kalangan artis. Tapi dia cukup terkenal di kalangan produser. Bahkan Teddy mengenal dirinya.”

“Maksudmu.. Teddy.. Park? Produser YG itu?”

Donghae mengangguk. “Wajar kau tidak mengenalnya. Dia tidak seterkenal Teddy, atau Kenzie, atau Yoo Young Jin. Tapi Carmen mengenal mereka semua, begitu pula sebaliknya. Sayangnya, aku sudah tidak pernah melihatnya di SM. Dia pergi begitu saja tanpa ada yang tahu kenapa.”

“Dan kau mengenal si Carmen ini?”

“Tidak juga.” Donghae menghela napas. “Aku hanya pernah melihatnya beberapa kali. Dia pernah menciptakan beberapa lagu kami, hanya saja dia lebih suka tidak menunjukkan dirinya. Padahal menurutku dia sangat hebat.”

Hening.

Mereka tidak lagi bicara sampai mereka tiba di Seodaemun.

Donghae mengambil ponselnya, kembali menelepon Kim Eun Hee.

“Halo, oppa?”

“Aku sudah di Seodaemun. Tunggulah sebentar, eoh? Aku harus mengantar temanku.”

“Baiklah.”

Chan memperhatikan laki-laki itu. “Kau mau menemui seseorang selain adikmu?”

Yeah.” Donghae menyimpan ponselnya. “Tapi aku akan mengantarmu dulu.”

“Tidak usah.” kata Chan hendak membuka pintu mobil. “Aku akan turun disini. Kau bisa langsung menemui temanmu.”

“Aku tidak mungkin membiarkanmu berjalan sejauh ini.”

Chan mengurungkan niatnya. Mereka diam lagi, dan tahu-tahu mereka sudah berada di kafe gadis itu.

Gadis itu membungkuk. “Terima kasih, Donghae-ssi.”

Donghae mengayunkan satu tangannya di depan Chan. “Itu gunanya teman kan? Saling menolong?”

Chan tertegun lagi, dan mengangguk.

“Tunggu sebentar.” cegah Donghae. Gadis itu menatapnya bingung.

“Aku suka sekali kopi dari kafe mu. Jadi bila suatu saat aku ingin tapi tidak bisa datang kemari, aku akan melakukan delivery order. Jadi, berapa nomor ponselmu?”

☆☆☆

Setelah memindahkan barang-barang Joohae yang diberikan Eunhee, Donghae memutuskan untuk mengantar Minjung ke kantornya sebelum menuju SM. Minjung memandang Donghae curiga.

“Jadi kau sudah mengenal Chan.” ujar gadis itu.

“Kau mengenalnya juga?” Donghae membalas tanpa memandang gadis itu.

“Tidak juga.” Minjung mengerutkan bibir. “Aku lebih sering bertemu saudara kembarnya, Joon. Aku hampir tidak pernah berbicara pada Chan, hanya melihatnya sambil lalu.”

Donghae mengangguk-angguk.

“Bagaimana kalian bisa saling mengenal? Hei, kau bahkan mengantarnya tadi!”

“Entahlah..” Donghae bergumam, setengah merenung. Ia menambah kecepatan dan berbelok di saat yang tepat. “Dia hanya mengingatkan aku pada seseorang yang aku kenal. Kau tahu? Kalau kau digelayuti perasaan jika bertemu seseorang dan kau bertekad untuk berteman dengannya?”

“Ah.” Minjung melipat bibir. “Kukira ada sesuatu.”

Donghae menoleh sepersekian detik ke Minjung, kembali menatap jalanan. “Sesuatu?”

“Jangan bodoh. Kau tahu maksudku.” Minjung menggedikkan bahu. “Dan ngomong-ngomong, kita kelewatan.”

☆☆☆

Beberapa hari sudah berlalu sejak Donghae mengambil barang-barang Joohae di Eunhee, tapi bahkan sampai sekarang ia belum membukanya. Ia sibuk sekali. Jadwal inividunya sudah cukup padat. Ia harus menghadiri pemotretan, menjadi model iklan, menjadi bintang tamu di suatu acara, dan sebagainya. Belum lagi beberapa hal yang dilakukan Super Junior setelah comeback mereka. Jumpa pers, pemotretan, fan meet, comeback stage di beberapa stasiun televisi, dan beberapa hal sibuk lainnya. Mereka kembali menyinggung soal Joohae, tapi Donghae memilih untuk tidak menanggapinya.

Sekitar dua bulan terhitung sejak ia bertemu Eunhee, barulah ia bisa membongkar barang-barang gadis itu. Ia benar-benar mensyukuri hari libur yang selalu ia dapatkan. Jadi hari ini, ia berada di apartemennya dengan barang-barang adiknya.

Ia menuju ruangan tempat ia menyimpan semua barang Joohae, meletakkan tiga kotak itu di samping meja. Ia duduk di kursi berlengan, mulai membongkar.

Ada tiga kotak berukuran sedang. Donghae membuka yang pertama. Ia terkekeh. Seharusnya ia tahu isinya adalah buku karena kotak itu yang paling berat. Ia mulai melihat-lihat, dan meletakkan semua itu di rak. Sebagian besar buku adalah buku kuliah gadis itu.

Isi kotak kedua adalah seluruh pakaian gadis itu. Beberapa tampak asing bagi Donghae, tetapi model pakaiannya sebagaimana ia mengenal gadis itu: casual. Gadis itu tidak pernah mau ambil pusing untuk urusan pakaian. Ia mulai menyimpannya di lemari.

Kotak ketiga, isinya tiga pasang sepatu running milik gadis itu. Donghae tersenyum. Semua sepatu itu ia yang membelikannya, dan sepertinya gadis itu sengaja meninggalkannya di Jerman agar barang bawaannya tidak banyak. Lagipula Joohae masih punya banyak sepatu di Korea.

Selain tiga pasang sepatu, ada lagi barang-barang lain seperti kotak pensil (yang isinya banyak sekali, selain pulpen maksudku), karet rambut, jepit rambut, dua buah bingkai foto (foto Donghae dan Joohae saat masih kecil bersama kedua orangtua mereka dan foto kakak beradik itu), dan sebuah hardisk.

Donghae membuka laptop adiknya yang memang ada di meja, melihat-lihat isi hardisk itu. Hanya ada enam folder disana, yang dinamai ‘Foto’, ‘Video’, ‘Film’, ‘Musik’, ‘Kuliah’, bahkan ‘Sumber Uangku’, sehingga Donghae bisa langsung tahu isinya. Rupanya folder-folder itu, terdiri dari banyak subfolder. Seperti foto, Joohae memisahkan foto dirinya, foto dengan teman-temannya, foto dengan Minjung, foto dengan Donghae, dan foto dengan anggota Super Junior. Donghae melihat semuanya, dan ia benar-benar ingin menangis lagi.

Tapi itu sebelum ia membuka folder Video.

b

To Be Continued

b

Gimana gimana gimana?

Jadi aku ngetik begini dalam keadaaan emang ‘Yawdah bikin aja kek gini lah daripada ga cerita’, jadi map map aja nih kalo ceritanya such like ‘ewhh’ HEHE

Aku pengen aja gitu berenti nulis cerita ini, tapi idenya ngalir terus gimana dong :))

Tolong jangan kecewa, bagi siapapun yang baca, kalau seandainya cerita ini tiba-tiba nggaka aku lanjutin, karena emang dari awal aku ga niat nulis cerita ini :)))

5 thoughts on “All Around Us 4

  1. jadi carmen itu chan 😄 itu alasannya chan jadi takut kalo ketemu donghae, soalnya dia peenah jd produser di SM.. nah apa alasan chan keluar dr SM ya 🤔🤔 makin penasaran.. video apa yang ada di folder joohae ?? apa video ttg donghae ??

    oh ya, thor jangan sampe berhenti dong nulisnya😭 padahal tulisan sm cerita mu bagus loh 👍 jadi sayang kalau berhenti gitu aja . keep writing aja thor 😃

    Liked by 1 person

Leave a comment