Fall For You 1

168999

Poster by POKUPON

#1 : Impression

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 (END)

***

MATAHARI mulai terbit dari pantai yang diliputi kabut. Dengan perlahan, kota Seoul terbangun dari tidur malamnya. Hari ini sedikit berawan, tetapi tidak ada pengaruhnya dengan suhu udara kota metropolitan yang penuh dengan kendaraan bermotor yang berseliweran tanpa henti dan gedung-gedung pencakar langit.

Di antara beberapa gedung itu, terlihat sebuah gedung yang sedikit menjulang dari gedung yang lain. Bangunannya yang berselang-seling antara jendela kaca besar dan susunan batu berwarna merah bata membuatnya terlihat lebih mencolok dari bangunan di sekitarnya. Di bawah tangga menurunnya, pintu masuk gedung ini berada. Di atas pintu, tertera nama toko ini dan semacam spanduk bergambar sebuah buku terbuka.

Pintu putarnya bergerak, menandakan ada pengunjung yang masuk dan keluar tiada henti. Rak-rak buku biasa dan melengkung berdiri dengan rapi, membentuk semacam labirin. Ada juga rak yang menjulang sampai ke langit-langit. Pada bagian atas kumpulan rak digantung keterangan tentang tema buku. Sejarah, novel terjemahan, hukum, teknologi, kedokteran, ekonomi, psikologi, biografi, buku pelajaran, hobi, dan lainnya. Tiap kategori buku dipenuhi oleh orang-orang, entah untuk melihat-lihat, mengambil buku dan membawanya ke kasir, bahkan duduk di lantai untuk membaca.

Hwang Min Jung berdiri diam di depan sebuah rak buku yang menyatu dengan dinding. Bagian atas rak terdapat ukiran bertuliskan Bestseller. Matanya tidak beralih dari deretan buku di rak keempat dari atas. Sudah hampir dua puluh dua menit ia berdiri dan memandang ketujuh buku itu, menimbang-nimbang apakah akan membeli semuanya atau tidak. Salah satu tangan gadis itu merogoh saku celana rok putihnya, memeriksa uang di dalamnya. Ia tersenyum. Uangnya lebih dari cukup. Ia mengambil semua buku yang ada di rak itu, membawanya ke kasir.

“Semuanya tujuh puluh enam ribu won.” kata si penjaga kasir menatap layar komputer setelah ia menghitung harga buku itu.

Minjung mengeluarkan delapan lembar uang bernilai sepuluh ribu won dari sakunya dan meletakkannya di meja kasir. Ia memasukkan keenam buku itu ke ransel dan memegang satu, kemudian menerima uang kembalian lalu memasukannya ke saku kemeja.

“Terima kasih!” seru si penjaga kasir saat Minjung berjalan menjauh.

“Tidak, tidak,” gadis itu membuka segel plastik buku yang dipegangnya tadi. “terima kasih!”

Gadis itu mulai membaca. Sambi berjalan, ia menghindari rak buku dan orang-orang. Ia memperbaiki posisi kacamata minusnya, kemudian menjulurkan tangan ke depan untuk mendorong pintu putar. Sejurus kemudian, ia sudah berada di luar toko buku.

Meskipun sedang hanyut dalam cerita, Hwang Min Jung tidak lupa bahwa ia harus menaiki tangga. Jadi ia tetap menaiki tangga itu sambil terus membaca, lalu berbelok dan dalam sekejap ia sudah berada dalam kerumunan orang-orang. Beberapa menit kemudian, ia sudah berjalan di sebuah trotoar. Ia beruntung bila sudah berada di sini, karena orang-orang di trotoar tidak sebanyak tadi, sehingga ia tidak perlu sering-sering menghindari para pejalan kaki.

Pikiran itu membuatnya semakin yakin untuk kembali terhanyut dalam cerita, sehingga ia mulai tidak memperhatikan langkahnya. Akibatnya, gadis itu menabrak seseorang. Buku terlepas dari tangan Minjung. Ia terhuyung mundur, namun cepat-cepat menyeimbangkan tubuhnya, dan berdiri tegak. Ia menoleh dan mendapati bukunya tergeletak di tanah.. dengan sampul berlumur es krim.

“Buku ku!” serunya kaget. Ia mengambil buku itu, memegangnya dengan jari jempol dan telunjuk. Ia memandang dengan marah orang di depannya. Orang yang ditabraknya bertumpu pada tiang, memegang kepala. Sepertinya ia sedikit pusing.

“Oh, tidak! Kau merusak bukuku, Tuan!” pekiknya marah. “Apa kau tidak memperhatikan langkahmu hah?!”

Orang itu berdiri tegak, balik memandang Minjung dengan terkejut karena tidak ada kata ‘maaf’ yang diucapkan gadis itu. “Kau sendiri tidak memperhatikan langkahmu!” ia menunjuk bajunya. “Lihat apa yang kau lakukan pada bajuku!”

Minjung memandang hina baju pria itu yang terkena sedikit noda es krim. Ia mengacungkan bukunya yang seluruh sampulnya terkena es krim. “Lihat apa yang es krim-mu lakukan pada bukuku!”

“Apa peduliku dengan bukumu?!”

“Dan apa peduliku dengan bajumu?!”

“Kau seharusnya tidak membaca sambil berjalan!”

“Memangnya kenapa?!” sergah gadis itu. “Aku tidak pernah dapat surat panggilan dari polisi karena berjalan sambil membaca! Lagipula aku bisa menghindari orang-orang dengan baik!”

“Kau harus ganti rugi!” geram pria itu. “Bajuku.. dan es krim ku!”

Minjung tertawa. “Ganti rugi?” cemoohnya. “Aku juga bisa mengatakan hal yang sama!” ia mengacungkan bukunya. “Ganti buku ku!”

“Tidak akan!” laki-laki itu tak mau kalah. “Kau yang salah! Berjalan sambil membaca, menabrakku, mengotori bajuku, dan menganggu para pejalan kaki! Seharusnya aku melaporkanmu pada polisi!”

Raut wajah Minjung berubah takut. “Baiklah,” katanya pasrah. “Aku tidak bisa mengganti kemejamu, tapi bolehkah aku mengembalikan es krim mu?”

Orang itu tersenyum penuh kemenangan, kemudian mengangguk.

Minjung maju selangkah. Ia memegang buku dengan kedua tangan, lalu menyeka seluruh es krim di buku dan membersihkan jemarinya dari noda es krim dengan baju orang itu.

Ia menatap bukunya dengan puas. “Sepertinya tidak apa-apa.” ia meninggalkan orang itu dengan santai.

Orang itu butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa, seorang gadis yang tidak dikenalnya baru saja mengotori bajunya dengan es krim. Ia berbalik, memandang marah Minjung yang tetap membaca.

Ia menatap kemejanya.  “APA YANG KAU LAKUKAN HAH?!” teriaknya marah. Semua orang memandangnya terkejut.

Tidak ada reaksi dari Hwang Min Jung.

☆☆☆

“Ada kabar dari Byul? Aku belum meneleponnya pagi ini.”

“Yah, seperti biasa.” Donghae mengangkat bahu. “Masih terbaring tak berdaya.”

“Tidakkah dia pikir gaya hidup yang dijalaninya sehat? Meskipun dia selalu berolahraga?”

Saat ini Minjung sedang mengobrol dengan tiga sahabatnya – Donghae, Hyosung, dan Sungmin – tentang Byul. Gadis yang terkenal karena kemampuan taekwondonya itu, yang dikenal semua sahabatnya sebagai orang dengan daya tahan tubuh terkuat, kini sudah mendekam di rumah sakit selama hampir dua minggu karena tifus.

Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara, sampai kemudian Sungmin dan Hyosung berpamitan kepada keduanya karena ingin mengunjungi adik sepupu Sungmin yang merupakan adik tingkat mereka. Dua orang itu meninggalkan kelas.

Minjung dan Donghae melanjutkan obrolan mereka tentang Byul (Donghae tidak lupa bertanya tentang keberadaan Yoo Seung Chan, sahabat mereka juga) dan Minjung mencoba berspekulasi kalau Chan bertemu Sungmin dan Hyosung dan memutuskan untuk mengikuti mereka (hanya alasan untuk menghibur Donghae).

Beberapa anak perempuan masuk ke kelas. Mereka tengah asyik mengobrol―atau seharusnya kukatakan―mereka tengah bergosip. Itulah yang tampak di mata Minjung. Bagaimana tidak, mereka kelihatannya menggebu-gebu dan mata mereka berbinar-binar saat bicara. Secara tidak sengaja, Minjung menangkap sedikit perbincangan mereka.

“Anak baru?” Minjung menoleh ke Donghae. “Di kelas kita?”

“Kau tidak tahu?!” Donghae tampak terkejut. “Kau ini murid sekolah ini bukan sih?!”

Minjung mengangkat bahu acuh. “Apa peduliku? Membuat aku kehilangan waktu bersama buku-bukuku?”

Donghae memandangnya sebal.

Minjung kembali memandang kerumunan anak perempuan itu. “Pasti anak laki-laki.”

Donghae mengangguk.

“Payah.” cemooh Minjung.

“Aku kenal anak itu.”

Minjung menoleh ke Donghae, mengangkat sebelah alis, menampakkan ekspresi bahwa ia sama sekali tidak tertarik dan tidak peduli dengan hal ini. “Lalu?”

“Dengarkan aku, Hwang Min Jung!” teriak Donghae. Semua orang langsung memandang mereka berdua.

Minjung memberikan tatapan apa-yang-kau-lihat pada mereka semua kemudian kembali memandang Donghae. Gadis itu menghela napas. “Oke. Telingaku milikmu sekarang.”

Donghae tersenyum senang. Ia tahu gadis tercintanya ini tidak akan membiarkan pendengarannya tercemar oleh gosip-gosip murahan dan hal-hal yang tidak penting. Tapi entah mengapa ia butuh Minjung mendengarnya dan ingin sekali menceritakan hal ini pada gadis itu. “Aku pernah bertemu dengannya saat aku ke toko musik. Waktu itu aku mau membeli beberapa CD musik jazz. Kau tahu sendiri kan perjuanganku untuk itu?”

Minjung kini tersenyum dan mengangguk penuh pengertian. “Tidak jauh berbeda dengan perjuanganku untuk tujuh buku Harry Potter.”

Donghae mengangguk takzim, kembali melanjutkan ceritanya. “Saat itu dia juga ada di sana, sedang berburu album sama sepertiku. Aku menyapanya, dan kami mengobrol, sebagai sesama pecinta musik, kau tahu? Aku ingat dia pernah menyebut namanya, tapi imo sudah menarikku keluar toko. Jadi sampai sekarang aku tidak tahu namanya, tapi begitu melihatnya tadi pagi, aku langsung tahu..”

Minjung terkekeh. “Pasti imo mau cepat-cepat mendatangi demo masak di dekat situ.”

Donghae membelalak. “Dari mana kau tahu?”

Gadis itu mendengus. “Kau lupa? Saat kalian pulang, imo meneleponku dan menyuruhku datang ke rumahmu untuk mencicipi resep baru okonomiyaki nya. Dan imo mengeluh padaku betapa lamanya kau mencari kaset.”

Donghae menyipitkan mata. “Kau bicara seakan kau benci jadi kelinci percobaan masakan imo, padahal kau menikmatinya.”

Gadis itu menyeringai. “Harus kuakui kau benar. Masakan imo adalah masakan terbaik di dunia. Terutama cookies coklatnya.”

Tepat pada saat itu, para murid masuk ke kelas dengan terburu-buru, termasuk Hyosung, Chan, Kyuhyun, dan Sungmin, duduk di tempat mereka masing-masing. Donghae kembali ke tempat duduknya, di depan Minjung. Sesaat kemudian, seorang wanita berkacamata masuk ke kelas, dengan beberapa buku di tangannya. Tatapan matanya yang tajam membuat kelas seketika hening. Seorang anak laik-laki masuk membuntuti guru bahasa Inggris itu.

Minjung membelalak kaget. Mulutnya ternganga lebar. Tidak, kacamatanya tidak salah. Penglihatannya juga sudah lebih baik dengan kacamata ini. Apa kacamatanya bisa membuat semacam fatamorgana? Baiklah, itu konyol, jelas saja itu tidak mungkin. Bila tidak, lalu benarkah apa yang dilihatnya? Orang yang menabraknya beberapa hari yang lalu.. sedang berdiri di depan sana?

“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Yoon seonsaengnim. “Kita punya penghuni baru kelas ini.” ia melirik anak itu, mengisyaratkannya untuk memperkenalkan diri.

“Selamat pagi,” sapa orang itu sambil membungkuk hormat. “Namaku Lee Hyuk Jae. Tapi aku lebih suka kalian memanggilku Eunhyuk. Mohon bantuannya..”

“Ah!” Donghae menjentikkan jari. “Itu dia namanya!” ia menoleh ke Minjung yang duduk di belakangnya. Ekspresinya berubah heran ketika ia melihat reaksi gadis itu.

Seketika kelas menjadi sedikit gaduh karena kicauan beberapa anak perempuan.

Guru itu menyapukan pandangan tajam ke seluruh penjuru kelas, mengisyaratkan untuk diam. Kemudian, ia menoleh pada Eunhyuk, melanjutkan dengan nada ramah. “Baiklah, Eunhyuk-ssi. Kau bisa duduk di kursi kosong itu, di samping Hwang Min Jung.”

“APA?!” teriak Minjung mengangkat wajahnya. Dan baru pada saat itu, Eunhyuk bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia mendelik.

“Kau keberatan, nona Hwang?”

“Ya, seonsaem…” jawab Minjung mencoba untuk terdengar sopan. “Biarkan aku duduk dengan Donghae, atau Sungmin, atau Kyuhyun. Itu lebih baik untukku.”

“Dan kalian akan mengacaukan seluruh kelas?! Tidak, terima kasih!”

“Kalau begitu biarkan aku duduk dengan―”

“TETAP DI TEMPATMU DAN LEE HYUK JAE AKAN DUDUK DENGANMU!” gelegar wanita pendek itu. “Kalau kau mengacau di kelasku lagi, aku memberimu detensi membersihkan toilet selama seminggu!”

“– Hyosung, Chan, Byul, atau siapa saja asal jangan dengannya.” Gadis itu tetap melanjutkan kalimatnya dengan suara yang makin mengecil.

Donghae, Chan, Kyuhyun, Sungmin, dan Hyosung menyeringai.

“Detensi ini juga berlaku untuk kalian berlima!” sambung guru Yoon. Mereka menunduk takut.

Minjung menghela napas. Ia sudah bosan melakukan detensi yang selalu diberikan wanita itu. Yoon seonsaengmin benar-benar tidak kreatif.. Apa ada detensi lain yang bisa dikerjakannya? Mengatur ulang rak buku di perpustakaan, misalnya?

Eunhyuk tersenyum ramah pada guru bahasa Inggris itu, lalu berjalan menuju tempat duduk sambil menebar senyum kepada para murid lain yang tersenyum padanya. Begitu melihat Minjung menopang dagu dengan kedua tangan dan menatap keluar jendela, Eunhyuk menatapnya hina.

Pelajaran bahasa Inggris itu dimulai. Wanita pendek itu memulainya dengan penjelasan panjang lebar tentang sastra Inggris. Setelah itu, ia memberikan satu contoh puisi dan menjelaskan makna dari puisi tersebut. Semua murid memperhatikan dengan baik, termasuk Eunhyuk yang berusaha menutup kekesalannya akibat duduk di samping gadis yang menabraknya beberapa hari lalu dengan menciptakan kesan murid teladan pada semua orang.

“Dunia ini sempit ya?” kata Minjung menatap papan tulis dengan bosan.

“Kau lagi..” desis Eunhyuk. “Aku tidak percaya aku satu sekolah, bahkan satu kelas denganmu! Duduk di sampingmu, pula! Mengerikan!”

“Oh ayolah..” Minjung mengerang dan menoleh. Tatapannya pada laki-laki itu sungguh merendahkan. “Aku juga kesal karena si pendek itu menyuruhku duduk denganmu! Kalau kau keberatan, pindahlah! Cari tempat duduk lain!”

Lima orang sahabatnya mendesis menyuruh diam seraya memejamkan mata jengah. Tidakkah Minjung tahu kalau suaranya sangat keras dan terdengar sampai ke kelas-kelas lain di sekitar kelas mereka?

Yoon seonsaengnim yang sedang menulis, mendadak berhenti. Ia berdehem cukup keras. “Nona Hwang?” Yoon seonsaengnim menatapnya kesal.

“Maaafkan aku, saem…” Minjung tersenyum masam. Ia mengambil pensil, mulai mencorat-coret kertas, menghasilkan gambar abstrak. Tak lama kemudian, ia sudah merebahkan kepalanya di meja, tertidur dengan tangan sebagai bantalnya.

Wanita muda itu kembali menuliskan puisi kedua. Ia memberikan kesempatan kepada para murid untuk menyimpulkan maknanya. Para murid kelihatannya bingung, padahal puisi itu hanya terdiri dari empat baris. Mata gelap wanita itu menatap para murid yang sepertinya akan memberi jawaban. Dan ketika matanya berhenti pada Lee Hyuk Jae, ia mendelik.

Atau seharusnya kukatakan, ia mendelik ketika melihat orang di samping Hyukjae.

“HWANG MIN JUNG!” pekik Yoon seonsaengnim mengerikan. Semua orang menatap gadis itu. Bahkan teman sebangkunya terkejut ketika menyadari Minjung tertidur.

Gadis itu terbangun dengan malas.

“Baiklah, aku akan memberikan kesempatan padamu untuk mengatakan pada kami semua makna puisi ini,” ujar wanita itu dengan berwibawa. “karena sepertinya, kau memperhatikan pelajaranku dengan baik.”

Gadis itu mengabaikan tawa geli yang menyusup ke gendang telinganya. Eunhyuk tersenyum meremehkan. Donghae, dan empat orang lain, terlihat waswas―biasanya mereka menjadi pelampiasan para guru setelah Minjung. Wanita itu menunggu dengan sabar.

Minjung membaca puisi itu.

v

Jika kamu ingin berangkat, kawan,

Kamu harus memberanikan hati.

Dengan sedikit pasir dan sedikit angin,

Serta banyak teman setidaknya seratus.

(Ulysses Moore – Penjaga Batu)

v

Dan gadis itu tidak butuh waktu lama untuk mengetahui maknanya.

“Seperti di memoar,” Minjung mulai menjelaskan dengan nada seakan seharusnya semua orang sudah tahu apa yang akan ia katakan. “Pasir yang memiliki beberapa lapisan berbeda, bisa mewakili waktu. Angin bisa melambangkan imajinasi, memberi bentuk baru, dan mengubah sesuatu.. atau mengganti isinya..”

Semua murid terperangah menatap Hwang Min Jung, meski sebenarnya mereka sudah terbiasa dengan hal ini. Siapa sih yang tidak tahu dengan kecerdasan gadis ini? Nama sekolah selalu disanjung karena memiliki murid seperti dirinya. Dan Minjung sendiri sudah bosan melihat namanya yang selalu saja menghiasi tiap piagam, piala, dan penghargaan di bidang akademis. Gadis ini luar biasa cerdas, luar biasa genius. Itulah salah satu dari beberapa alasan yang membuatnya terkenal. Seantero murid sekolah sangat bangga dan sangat mengagumi dirinya, namun tidak dengan guru-guru yang hampir tidak pernah menunjukkan bahwa mereka bangga memiliki gadis sebrilian ini karena Hwang Min Jung adalah murid yang malas, seenaknya, pengacau ulung, pembuat tekanan darah para guru naik, dan seringkali tidak mempedulikan guru-gurunya. Tapi jauh dari lubuk hati Minjung yang paling dalam, Minjung masih mencintai dan menghormati para gurunya, kalau saja detensi yang ia dapat dikurangi..

Minjung mengabaikan reaksi itu. Pandangan merendahnya masih belum berubah saat seorang murid bernama Shin Hyo Jin bertanya. “Lalu bagaimana dengan ‘seratus teman’?”

Minjung menunjukkan ekspresi yang benar-benar menyebalkan. “Kalau kau ingin tahu, Shin Hyo Jin-ssi.. Yoon seonsaengnim memberikan pertanyaan ini untukku dan kalau kau tidak bodoh, kau seharusnya tahu kalau aku belum menyelesaikan jawabanku. Siapa sebenarnya yang ‘menyimak’ pelajaran disini? Kau atau aku? Apa pertanyaan itu untuk mengujiku atau kau memang benar-benar bodoh untuk memahami puisi segampang ini?”

Hyojin tampak sangat geram.

“Hwang Min Jung..” tegur Yoon seonsaengnim.

“Baiklah..” gadis itu menyahut malas. “Kalau ‘seratus teman’ pastilah berhubungan dengan perasaan dan emosi kita. Karena puisi ini bertema petualangan, menurutku, si pengarang puisi ingin menyampaikan bahwa jika kita ingin bertualang, kita baru bisa melakukannya kalau hati kita siap. Jadi, kita harus memiliki waktu, imajinasi, dan kesiapan hati.”

Minjung tersenyum miring begitu menyelesaikan jawabannya. Di sampingnya, Eunhyuk mati-matian berusaha untuk tidak terlihat kagum. Meski ia sangat membenci gadis itu, ia mau tidak mau harus mengakui kecerdasan gadis sombong ini.

“Jawabanmu sangat mengagumkan.” ucap Yoon seonsaengnim menahan senyum. “Tapi kuperingatkan padamu kalau sekali lagi kau mengacau di kelasku..”

“Aku akan menata ulang buku di perpustakaan.” potong Minjung dengan nada bosan. “Aku tahu, saem..”

Yoon seonsaengnim mengerjap. “Kau tahu, Minjung?” gadis itu tampak kaget karena jarang sekali ada guru yang repot-repot mau menyebut nama panggilannya (mereka hanya memanggilnya dengan marga atau nama lengkap). “Aku tidak pernah memikirkan detensi itu sebelumnya. Tapi baguslah, kau sudah memberikan ide untuk detensimu sendiri.”

Baru pada saat itu, Minjung baru menyadari apa yang dikatakannya.

☆☆☆

Ketika bel tanda istirahat berbunyi, Minjung mengeluarkan salah satu novel yang dibelinya beberapa hari lalu. Ia membuka halaman tempat pembatas bukunya diselipkan, kemudian meletakkan pembatas buku di meja, dan mulai membaca.

Pada saat itu, seorang laki-laki masuk ke kelas mereka. Beberapa anak perempuan yang sedang asyik sendiri, kini memusatkan perhatian mereka pada orang itu. Orang itu menghampiri Minjung, menutup buku gadis itu, dan meletakkannya di meja.

“Hai, sayang.” sapa Kim Chang Woo. Murid senior, idola para wanita, kekasih Hwang Min Jung. Tadinya.

Seketika semua perempuan di kelas menjadikan keduanya pusat perhatian. Di pintu dan jendela kelas, beberapa orang melihat dengan tatapan ingin tahu.

Minjung mendongkak memandangnya, mendengus pelan, mengambil bukunya dan kembali membaca. “Dasar hidung belang. Masih berharap padaku setelah melihatmu bersama seorang pekerja kantoran masuk ke sebuah hotel. Entah apa yang kalian lakukan. Pasti menyenangkan.”

Terdengar suara-suara menahan napas dan terkesiap. Minjung tidak segan-segan untuk mengatakan hal tadi dengan suara yang cukup untuk didengar semua orang. Toh, ia yakin, para penggemar laki-laki ini pasti akan sangat senang ― sekaligus sedih mungkin? ― karena mereka akhirnya punya gosip baru.

Changwoo yang tadinya tersenyum manis, langsung mendadak muram.

“Kau sudah berjanji padaku untuk tidak mengatakannya pada semua orang.”

“Aku mau saja tetap diam, kalau saja kau tidak selalu mendatangiku dan masih berharap padaku.” Minjung mengangkat bahu. Ia meletakkan pembatas buku di halaman terakhir yang ia baca di bukunya, dan menutup buku itu. Ia menatap Changwoo penuh cinta. “Lagipula aku tidak mengatakannya pada semua orang. Aku hanya mengatakannya padamu dan kebetulan sekali ada yang ikut mendengar.”

“Kau murahan.” ujar Changwoo.

“Lihat siapa yang bicara.” Minjung menyeringai. “Apa perlu aku ingatkan siapa yang mengejar-ngejarku selama tiga bulan terakhir? Meneriaki kalau kau mencintaiku di depan semua murid dan guru? Padahal kau hanya ingin aku mengerjakan tugas sekolahmu sementara aku adalah adik tingkatmu?”

Laki-laki itu tampak tak terima.

“Pergilah. Aku bukan kekasihmu lagi.”

Gadis itu kembali membaca, hanyut dalam dunianya. Sementara Changwoo pergi diiringi dengan tatapan kagum dan bisik-bisik para gadis.

Ketika Minjung membuka halaman selanjutnya, tanpa sengaja ia melihat dari balik bukunya empat orang laki-laki berjalan melewati pintu kelasnya. Ia bisa melihat mereka mengobrol dengan akrab, walaupun hanya sekilas. Ia mengangkat bahu acuh tak acuh, lalu melanjutkan membaca.

Minjung memang terkenal, selain karena otaknya yang brilian. Jika saja tiga teman laki-lakinya mau mengakui, Minjung sebenarnya gadis yang sangat cantik. Ia mempunyai rambut panjang hitam bergelombang yang bagus sekali. Jangan salah, Minjung ahli dalam merawat diri dan berdandan (tidak seperti si ­tomboy Shin Ha Byul yang terlalu masa bodoh dengan penampilannya). Tubuhnya tinggi dan langsing, tidak terlalu kurus, benar-benar proposional untuk ukuran seorang model (bahkan Chan dan Hyosung sangat iri dengan tubuh gadis itu). Kacamata bergagang hitam dengan bingkai segiempat lebar dan lensa tebal sebenarnya hanya penambah kadar kecantikannya, karena benda itu tidak membuatnya terlihat sebagai seorang kutu buku akut sama sekali. Tidak ada kesan culun yang biasanya melekat pada seorang seperti itu. Minjung berhasil mematahkan anggapan bahwa seorang nerd tidak harus kurang populer dan bertampang bodoh. Bahkan tidak ada yang menduga seorang secantik dirinya (jika biasanya para gadis cantik lebih suka tergabung dalam anggota cheerleader sekolah) adalah seorang kutubuku yang amat sangat pintar. Dan di atas penampilannya, kecerdasannya adalah sebuah pelengkap.

Benar-benar sebuah kesempurnaan kalau saja tingkat ‘kejujuran’ Minjung dalam berbicara bisa dikurangi. Alasan berikutnya yang membuat Minjung begitu terkenal.

Ia sangat populer, seperti tiga temannya yang populer sebagai kebanggaan sekolah karena hal berbeda (Chan si musisi cerdas, Byul si atlet basket dan taekwondo, Hyosung si ballerina dan seniman terbaik di usianya). Bukan hanya itu yang membuat mereka populer. Mereka berteman baik dengan tiga laki-laki yang merupakan idola seluruh kaum hawa sekolah.

Kuharap kalian bisa mengerti apa yang membuat Lee Dong Hae, Cho Kyu Hyun, dan Lee Sung Min terkenal selain karena ketampanan mereka.

Karena itulah, banyak sekali laki-laki di sekolah yang menyukai Minjung. Mereka tidak peduli dengan mulut pedas gadis itu, karena menurut mereka hal sekecil itu sudah tertutupi dengan kecerdasan dan kecantikan yang dimilikinya. Sejak masih berada di kelas satu, Minjung diketahui sudah pernah menjalin hubungan dengan beberapa orang terkenal. Ketua tim basket, presiden sekolah, wakil presiden sekolah, anak perjabat, anak konglomerat, laki-laki tampan idola para perempuan, dan laki-laki populer lainnya.

Meskipun demikian, hal itu sebenarnya terjadi karena mereka yang menyatakan perasaan pada gadis itu, bukan Minjung yang mendekati mereka seperti kebanyakan siswi. Dan Minjung sama sekali tidak pernah menerima mereka atas dasar cinta.

Melainkan karena kasihan dan sarana pelampiasan.

Kim Chang Woo satu di anatara segelintir laki-laki yang sudah dicampakkan Hwang Min Jung.

Bayangkan seorang yang cantik, cerdas, bermulut tajam, pengacau sekolah, pembuat iri semua orang, dan ‘Taylor Swift’ bersemayam dalam satu tubuh.

Setelah menghabiskan satu bab, ia baru menyadari bahwa kini salah satu dari para lelaki tadi dilihatnya sudah duduk di dekatnya.

“Serius sekali! Sampai aku tidak diperhatikan!” ujar Lee Dong Hae.

Minjung hendak menutup bukunya ketika mengenal suara itu. Ia kembali membaca. “Kukira kalian bersenang-senang dengan teman baru kalian.”

“Bersenang-senang? Hei, kami hanya mengantarnya ke kantin, karena dia hampir tersesat tadi. Karena melihat kau sendirian di sini, aku meninggalkan mereka.” Donghae merebut buku Minjung, lalu menatapnya dengan tatapan jahil. “Kau cemburu karena para sahabatmu dekat dengan orang baru?! Aigoo.. sulit dipercaya..” katanya setengah menggoda.

Minjung mengernyit seperti tengah mencium bau busuk.

“Kau tahu? Eunhyuk adalah teman yang sangat menyenangkan!” Donghae berkata dengan nada yang kelewat gembira. Membuat Minjung ingin menghajarnya saat kata ‘menyenangkan’ tercetus. “Jarang sekali Hyosung dan Chan bisa langsung akrab dengan seseorang secepat itu! Sungmin pun begitu! Tapi sepertinya Kyuhyun masih menjaga jarak!”

“Dan apa yang bisa kau simpulkan dari semua perkataanmu itu?” Minjung bertanya judes.

Ya, apa masalahmu?” laki-laki itu mengerutkan kening. “Kenapa kau sangat tidak menyukainya?”

“Tidakkah kau dengar apa yang dikatakannya sampai aku hampir mengusirnya tadi?!”

“Apa hanya karena itu?” tangkis Donghae. “Atau kau hanya sedang sedang kesal karena tadi Changwoo kemari?”

Kali ini Minjung mencurahkan seluruh perhatiannya pada laki-laki itu. “Kau melihatnya?”

“Oh, kami semua melihatnya!” Donghae memutar bola matanya. “Dan melihat dari ekspresinya, sepertinya kau baru saja mencampakkannya.”

Gadis itu tersenyum. “Aku tidak tahu kalau kau sepeka ini pada diriku.”

“Begitukah?” Donghae mengangkat alis. “Walaupun begitu, aku masih belum bisa menemukan alasan yang tepat kenapa kau sangat membenci orang baru di hari pertama kau bertemu dengannya. Aku rasa ini bukan hanya masalah tempat duduk.”

Minjung mengangkat bahu, pura-pura tidak mendengar perkataan Donghae. Ia kini benar-benar kembali membaca.

Laki-laki itu menghela napas pasrah. Gadis itu mulai lagi..

☆☆☆

Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran. Pintu-pintu kelas terbuka, mengeluarkan udara pengap. Para murid berjalan dengan riang melewati pintu keluar, menyebar menuju tempat parkir atau langsung keluar gerbang sekolah.

Donghae berpamitan pada Kyuhyun, Sungmin, Chan, dan Hyosung, memisahkan diri dari rombongan dan berlari menuju perpustakaan. Ia berdiri di dasar tangga gedung itu, menatap pintu penuh harap. Tiba-tiba, seorang laki-laki muncul di hadapannya.

“Sedang apa kau di sini?”

“Menunggu Minjung.” jawab Donghae tanpa beralih dari pintu. Ia melirik arlojinya. “Harusnya dia sudah kembali.” gumamnya, kemudian berpaling menatap orang itu setelah menyadari bahwa ia tidak sendiri. “Kau sendiri?”

“Mencarimu.” balas Eunhyuk.

Donghae mengangkat alis.

“Bisakah kau menemaniku ke toko musik setelah ini? Aku tidak tahu dimana tempat untuk mencari CD musik klasik yang bagus, jadi aku butuh bantuanmu. Apa kau keberatan?”

“Tentu saja tidak.” kata Donghae senang. Laki-laki itu selalu bersikap rendah hati pada semua orang yang membutuhkan bantuannya. Ia tidak pernah menyombongkan diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Berbeda dengan Minjung yang dianugerahi kecerdasan akademis (bukan berarti Minjung sombong dengan hal itu, ia hanya terlalu tidak peduli), Lee Dong Hae punya bakat alami di bidang seni. Musk, tari, dan teater melekat pada dirinya. Sama seperti Hyosung.

Tepat pada saat itu, terdengar langkah kaki dari perpustakaan. Mereka serentak menoleh ke pintu. Seorang gadis berjalan riang keluar gedung perpustakaan dengan beragam buku dalam pelukannya. Ia tampak terkejut melihat panitia penyambutan yang menyambutnya.

Minjung menatap Eunhyuk sekilas, lalu berpaling ke Donghae. “Hei, sepertinya aku bilang padamu untuk tidak menungguku.”

“Benarkah?” Donghae tampak mengingat-ingat.

Minjung tersenyum penuh arti. “Aku pulang ke rumah nenekku hari ini.”

Donghae mengernyit. “Jadi?”

“Jadi, Lee Dong Hae ku sayang,” Minjung tersenyum begitu manis. “Kita tidak bisa pulang bersama.”

Laki-laki itu merengut. “Seharusnya aku tidak menunggumu.” gerutunya.

“Memang benar.” Minjung tertawa. “Seharusnya aku sudah ada di meja makan rumah nenekku sekarang. Sampai jumpa!” gadis itu langsung berlari menuju tempat parkir sepeda.

Keduanya hanya memandangi gadis itu dan sepedanya yang mulai menjauh.

“Aneh, dia tidak menyapamu..” gumam Donghae ketika melihat Minjung lenyap dari pandangan.

“Sudah kuduga.” balas Eunhyuk.

Donghae menatap Eunhyuk dengan kening berkerut. “Kenapa?”

“Dia tidak cerita?”

“Cerita apa?”

Eunhyuk menghela napas. “Berarti memang dia tidak cerita.” ucapnya pada diri sendiri.

“Cerita apa?!” desak Donghae.

“Oke, oke, aku cerita.” Eunhyuk mengangkat kedua tangannya, mulai kesal. Ia mulai menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa hari lalu. Saat Minjung menabraknya, saat mereka bertengkar, dan saat Minjung menyeka es krim ke bajunya.

Donghae terhenyak. Sekarang ia mengerti mengapa Minjung terlihat kaget ketika melihat Eunhyuk. Mengapa gadis itu berdebat dengan Eunhyuk. Mengapa gadis itu tidak menaruh perhatian pada Eunhyuk tadi. Dan mengapa mereka berdua saling membenci.

Tapi mengapa Minjung tidak menceritakan hal ini padanya? Mengapa ia harus mendengar semua itu dari mulut orang lain? Bukan dari mulut sahabatnya sendiri?

v

To Be Continued

v

HAHAHAHAHA aku kambek akhirnyaaaa 😂😂😂😂😂

Jadi, ini adalah before story dari Love, Trust & Hate 😗

Ini bakal ada 7 part dan udah aku selesaiin semua, jadi tinggal di-post. Aku bakal post tiap minggu, di hari selasa, waktunya terserah aku HAHAHA 😁

Jadi gimana pendapat kalian? 😕

Ini emang kebanyakan narasi karena aku mesti memperkenalkan gimana aslinya si Minjung WQWQ 😄

Oh iya special thanks buat Poku eonni karena udah mau bikinin posternya dan bantuin aku nentuin judul cerita ini, karena tadinya sempet bingung gitu nentuin judulnya HEHE 😊

Kuharap gaada yang kecewa sama cerita ini ya 🙃

 

8 thoughts on “Fall For You 1

  1. ini dipa banget demi apa wkwkwkwkwkwkwwkwkwkwkkwk.
    Karakternya si Minjung kuat ya disini, gak yang lemah2 manja khas karakter ciwi2 FF biasanya 😉 /dugg
    dan btw aku suka banget sama love hate relationship kek gini, unch unch gimana gitu wkwk /apazeh
    i love minjungie’s karakter disini, tapi mungkin lebih baik lagi kalo kesempurnaan dia dideskripsiin lewat dialog tokoh2 lain – bikoz terdengar lebih meyakinkan – tapi kalo dipa lebih nyaman pake narasi juga gapapa si:)
    I’ll really look forward for the next chap hikz can u post it a lil bit faster, deq? bikoz seminggu is too much for meh:”(/makza deh

    Liked by 1 person

    1. Aku susah aja sih eon ngedeskripsiin si minjung lewat tokoh, takutnya monoton gitu loh eon WQWQWQ tapi makasih loh udah mampir dan review 😂😂 soalnya kalo 2 hari sekali ga seru eon, yawdah seminggu aja biar suweg WQ

      Liked by 1 person

Leave a comment